Sabtu, 23 Juli 2011

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HONGKONG



oleh. Cecep Zakarias El Bilad
Abstract: It is almost eleven years Hong Kong has been in the lap of People Republic of China. Beforehand, for approximately one hundred and fifty six years Hong Kong belonged to Britain that built it based on economic and political liberalism. At present, it becomes one of the Special Administrative Regions of PRC that allows it to maintain capitalist and democratic system. This article tries to explain the history of Hong Kong and China’s strategy to develop such a region after the return.


Keywors: sistem, opium, penguasa, perdagangan, sosialis, kapitalis, demokrasi, liberalisme.


Perang Opium
Dinasti yang terakhir berkuasa dalam sejarah Tiongkok adalah Dinasti Qing. dinasti ini berkuasa selama 268 tahun, antara tahun 1644 dan 1911 dengan sepuluh kaisar berturut-turut naik takhta di Beijing. Dinasti Qing merebut kekuasaan dari Dinasti Ming pada tahun 1644 melalui pemberontakan yang dipimpin oleh Li Zicheng.

Di bawah kekuasaan Dinasti Qing, pertanian Tiongkok berkembang cukup pesat karena perhatian pemerintah. tetapi dalam hubungan dengan luar negeri, Dinasti Qing sangat terisolasi karena cenderung menutup diri. Mereka merasa makmur dengan apa yang telah dicapainya tanpa bergantung pada dunia luar, sebaliknya dunia luar terutama Barat sangat bergantung pada barang-barang ekspor Tiongkok seperti sutera, tembikar, rempah, teh, dan porselen. barang-barang ekspor Tiongkok tersebut bermutu tinggi sehingga memberikan keuntungan yang sangat besar bagi para pedagang Eropa yang menjualnya di wilayahnya.

Dengan melihat potensi yang besar tersebut serta pasar yang menjanjikan di China tersebut , Inggris yang pertama kali berlabuh Guangzhou (Canton) pada abad ke-16 akhirnya memilih berdagang opium mulai tahun 1773 - ketika itu penggunaan opium di masyarakat China cukup luas. Inggris mendatangkan opium dari India. Strategi bisnis Inggris berjalan sukses, opium menadapatkan pasar yang luas di kalangan rakyat Guangzhou.

Banyaknya pecandu opium di Guangzhou membuat pemerintah China yang ketika itu di bawah pimpinan Kaisar Tao Kwang, pada tahun 1800 mengambil tindakan tegas dengan melarang perdagangan opium, dan pada 1839 pemerintah menyita dan memusnahkan opium di Guangzhou dan Kanton yang diimpor dari Inggris tersebut. Tindakan penguasa China ini dilakukan karena fenomena tersebut berpengaruh besar pada kondisi sosial dan ekonomi wilayah tersebut. Jutaan pecandu akan membayar berapapun dan melakukan apapun untuk mendapatkan opium yang diimpor dari Inggris.

Reaksi keras penguasa China ini membuat pemerintahan Inggris memutuskan untuk melakukan perang pada tahun 1840. Perang ini dinamakan dengan Perang Opium I. Perang ini berlangsung selama tiga tahun dari 1839 hingga 1842. Perang ini dimenangkan oleh Inggris, karena kekuatan militernya lebih kuat dengan persenjataan canggih. Sejak saat itu, perdagangan opium dimulai kembali.

Perang ini menyebabkan lebih dari 30 ribu rakyat China tewas. Akhirnya penguasa China, Dinasti Qing, bersedia menandatangani perjanjian damai dengan Inggris pada 29 Agustus 1842 di atas kapal perang Inggris HMS Cornwallis di Nanjing/Nangking, sehingga perjanjian ini dinamakan Perjanjian Nanjing (Treaty of Nanjing). Isi perjanjian tersebut adalah: pertama, Cina harus membayar upeti 21 juta dolar ke Inggris sebagai ganti rugi; kedua, Cina harus membuka kembali pintu perniagaan ke dunia barat, dengan membuka pelabuhan di Guangzhou, Jinmen, Fuzhou, Ningbo, dan Shanghai; ketiga, China harus menyerahkan wilayah Hong Kong beserta pulau-pulau kecil di sekitarnya kepada Inggris sebagai tanah jajahannya. Namun demikian penguasa China terus berupaya menghentikan perdagangan opium tersebut, sehingga beberapa tahun kemudian terjadi Perang Opium II. Dalam perang tersebut China kembali mengalami kekalahan.

Hong Kong Modern
Di bawah kekuasaan Inggris, Hong Kong dibangun di atas fondasi Demokrasi dan Liberalisme, sedangkan China merupakan pusat Sosialisme dan Komunisme di Asia. Secara geopolitik, hingga masa era Perang Dingin Hong Kong merupakan bagian dari agenda Containment Politics/Politik Pembendungan negara-negara Blok Barat untuk membendung penyebaran paham Komunisme wilayah-wilayah di sebelah selatannya (Asia Tenggara).

Setelah sekitar 156 tahun dikuasai Inggris, akhirnya Hong Kong dikembalikan kepada China pada 1 Juli 1997. Di bawah sistem kapitalisme, Hong Kong telah tumbuh menjadi pusat keuangan, perdagangan, pelayaran, logistik dan pariwisata internasional di kawasan Asia Pasifik, sehingga ketika awal kembalinya ke pangkuan China muncul kekhawatiran di kalangan luas masyarakat Hong Kong akan terjadi perubahan sistem dari demokrasi-kapitalis menjadi komunis-sosialis ala China. Rekonstruksi sistem ini tentu saja akan mengguncang ekonomi dan politik Hong Kong, apalagi ketika itu ekonomi China masih berada di bawah Hong Kong.

Menjelang pengembalian Hong Kong ke China, Deng Xiaoping, pemimpin China ketika itu, berjanji akan menerapkan konsep “satu negara dua sistem”. Konsep tersebut memberikan otonomi kepada pemerintah Hong Kong seperti pada sistem hukum, mata uang, bea cukai, imigrasi, peraturan jalan yang tetap berjalan di jalur kiri, kecuali urusan yang menyangkut pertahanan nasional dan hubungan diplomatik yang tetap ditangani oleh pemerintah pusat di Beijing. Dengan kata lain, konsep tersebut menjamin Hong Kong tetap berdiri di atas sistem kapitalis, dan China tetap berada dalam sistem sosialis.

Dalam perjalanannya, implementasi sistem ini berjalan dengan cukup baik. Bahkan ketika terjadi krisis moneter Asia pada tahun 1997, Beijing menyokong penuh pertumbuhan ekonomi Hong Kong sehingga bisa bertahan dan melaju pesat. Bersamaan dengan itu, ekonomi China juga berkembang dengan cepat sehingga taraf ekonomi masyarakat China daratan dan masyarakat Hong Kong semakin berimbang.

Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Hong Kong sangat baik setelah kembali dalam kekuasaan China. Pertama, pemerintah Hong Kong memfokuskan pengembangan sektor pariwisata sebagai sumber devisa utama. Hong Kong dibangun menjadi kota modern namun dengan tetap menampilkan eksotisme nuansa klasiknya. Kebijakan ini diambil karena sektor perdagangan ketika itu sedang lemah akibat krisis moneter Asia. Langkah ini membuahkan hasil yang memuaskan. Pada tahun 2003, perekonomian Hong Kong mengalami pertumbuhan 31%. Selama januari sampai April, 2005, jumlah turis terus meningkat sebesar 11, 1% dan mencapai 7, 41 juta orang. Hong Kong menjadi tempat persinggahan utama bagi para pebisnis yang hendak berurusan ke Cina. Para wisatawan juga banyak berdatangan dari China daratan seiring dengan pertumbuhan taraf ekonomi negara tersebut.

Kedua, Beijing menerapkan sistem satu negara dua sistem dengan konsisten, sehingga kestabilan politik tetap terjaga, hubungan Beijing dengan Hong Kong berjalan dinamis, dan iklim investasi baik dari dalam maupun luar negeri semakin meningkat. Hal ini tentu saja berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi Hong Kong dan memberikan kepuasan masyarakat pada pemerintah. Ekspor Hongkong ke daratan tahun 2006 mencapai puncak: HKD 8,3 miliar (Rp 9,545 triliun). Investasi Hongkong di daratan mencapai HKD 9, 2 miliar (Rp 10,580 triliun). Sedangkan investasi daratan ke Hongkong mencapai HKD 5, 1 miliar (Rp 5,865 triliun). Untuk terus meningkatkan hubungan ekonomi, pemerintah kedua wilayah menerapkan sistem perdagangan bebas yang menyebutkan bahwa impor barang dari dua negara tidak dikenai bea masuk. Kebijakan ini berlaku bagi 38 item jenis perdagangan dan akan ditambah lagi 11 jenis di masa akan datang.

Apabila kedua hal ini berjalan dengan konsisten, maka Hong Kong bersama dengan China akan segera menyusul pertumbuhan ekonomi Jerman yang saat ini menduduki urutan tiga besar setelah AS dan Jepang. Hong Kong tetap akan menjadi pusat keuangan, perdagangan, logistik, pariwisata dan pelayaran internasional.


Penutup
Perang Opium I antara China dan Inggris yang terjadi pada tahun 1839-1842 terhadi karena Inggris memasarkan opium di wilayah China secara ilegal dan menyebabkan jutaan rakyat China kecanduan opium. Inggris berhasil mengalahkan China dalam perang ini dan memaksanya menandatangani perjanjian Nanjing yang salah satu isinya adalah China harus menyerahkan wilayah Hong Kong kepada Inggris.

Pada tanggal 1 Juli 1997 Hong Kong dikembalikan kepada pemerintah China. Untuk menjaga integrasi dan pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, pemerintah China menerapkan konsep satu negara dua sistem. Konsep tersebut membiarkan Hong Kong tetap menerapkan sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi.

Paling tidak ada dua hal yang menjadikan Hong Kong sukses dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya hingga sekarang, yaitu: pertama, pemerintah Hong Kong memfokuskan pengembangan sektor pariwisata sebagai sumber devisa utama karena sektor perdagangan sejak krisis moneter Asia tahun 1997 mengalami penurunan; kedua, Beijing menerapkan sistem satu negara dua sistem dengan konsisten, sehingga kestabilan politik tetap terjaga, hubungan Beijing dengan Hong Kong berjalan dinamis, dan iklim investasi baik dari dalam maupun luar negeri semakin meningkat. Dengan begitu, Hong Kong diharapkan akan tetap akan menjadi pusat keuangan, perdagangan, logistik, pariwisata dan pelayaran internasional.


http://zakariaelbilad.multiply.com/journal/item/30

HONGKONG SAR

Tiongkok

HONG KONG S.A.R.

Hong Kong memiliki nama resmi Hong Kong Special Administrative Region (Hong Kong SAR), atau dalam bahasa Mandarin disebut Xianggang Tebie Xingzhengqu.

Pemerintahan

Hong Kong memiliki kepala negara yaitu Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Presiden Hu Jintao, dengan sistem pemerintahan ala Presidensial dengan Dewan Eksekutif (Executive Council-EXCO) sebagai kabinetnya yang beranggotakan 7 anggota non-official dan 14 anggota official, dipimpin oleh Chief Executive the Honourable Donald Tsang Yam-kuen, GBM. Dalam kabinet Hong Kong tidak dikenal posisi Menteri Luar Negeri karena kebijakan luar negeri menjadi tanggung jawab dan wilayah kerja Pemerintah Pusat RRT.

Di samping EXCO terdapat juga Dewan Legislatif (Legislative Council-LEGCO) yang menjadi parlemen negara bagian dengan sistem satu kamar, beranggotakan 60 orang dengan masa tugas 4 tahun; pada tahun 2004, 30 dipilih secara tidak langsung oleh kelompok fungsional, 30 sisanya dipilih secara langsung. LEGCO diketuai oleh Rita Fan Hsu Lai-tai GBS, JP, MA, BSc.

Hong Kong menjadi bagian dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sejak 1 Juli 1997, yang dirayakan Hari Pendirian Hong Kong SAR. Hari nasional lainnya adalah Hari Nasional RRT yang jatuh pada tanggal 1 Oktober.

Bahasa
Bahasa resmi Hong Kong adalah bahasa Mandarin, Kanton dan Inggris.

Demografi/Kependudukan
Hingga akhir tahun 2009, tercatat jumlah pendudukn Hong Kong mencapai jumlah 7.026.400 jiwa, dengan komposisi pria dan wanita yang hampir seimbang, yaitu 3.300.000 orang pria dan 3.726.400 orang wanita.                

Mayoritas penduduk Hong Kong mengaku sebagai Buddhis atau pengikut Taoisme. Sebagian besar penduduk Hong Kong juga menjalankan ritual pemujaan nenek moyang sebagai akibat kuatnya pengaruh Konfusianisme. Sekitar 500.000 penduduk memeluk agama Kristen dan Katolik. Selain itu masih terdapat kelompok pemeluk agama Islam, Hindu, Sikh, Yahudi, dan lainnya dengan jumlah antara 2000 – 20.000 orang.

Ekonomi

Ekspor Utama:
Pakaian dan aksesori pakaian; mesin listrik, alat-alat listrik, dan komponen listriknya; perhiasan, peralatan emas dan perak, dan benda berlogam mulia dan setengah-mulia; serat tekstil, kain, produk turunannya, dan produk terkait; dan barang cetakan.

Komoditi Utama re-ekspor:
Barang konsumsi; bahan mentah dan setengah jadi; bahan bakar; dan barang modal.

Impor Utama:
Barang konsumsi; bahan mentah dan setengah jadi; bahan bakar; dan barang modal.


GDP Total: US$ 177.13 miliar
Per kapita: US$ 25,622.22
GNP Total: US$ 169.07 miliar
Per kapita: US$ 24,564.85

repost from: http://www.deplu.go.id/hongkong/Pages/CountryProfile.aspx?l=id

Senin, 11 Juli 2011

Kalimantan Timur Bukan Toilet Tambang

Aksi Jaringan Advokasi Tambang membeberkan kerusakan di Kalimantan Timur di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui demonstrasi. Foto-foto: Dokumentasi Jaringan Advokasi Tambang.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyatakan bahwa Kalimantan Timur tak ubahnya toilet bagi industri pertambangan. Setelah penambang selesai beroperasi, tinggallah masyarakat dan lingkungan yang menjadi korban.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan Jaringan, Rabu (18/5), tercatat sekitar 4,4 juta hektar lahan, yang setara dengan luas negara Swiss, telah dikapling melalui Izin Tambang Batubara. Dan 12 ribu lahan pertanian pertahun menyusut akibat ekspansi tambang sawit dan Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Perut bumi Kalimantan Timur ini diolah melalui 33 izin yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan 1269 izin daerah tambang batubara.
Di Kabupaten Kutai Kartanegara, tambah Merah, sudah ada 31 lubang berisi air asam tambang yang luasannya mencapai 838 hektar dan ditinggalkan begitu saja. Di Kota Samarinda, tercatat 839 hektar luasan lubang dan bongkaran tanah yang juga ditelantarkan oleh perusahaan tambang.
Tak hanya itu, sebanyak 10.204 kepala keluarga pada empat kecamatan di Samarinda, yaitu Samarinda Ulu, Ilir, Utara, dan Sungai Kunjang, selalu dilanda banjir. Tiap tahun, kawasan banjir meluas dari 29 titik menjadi 35 titik. Penyebab utamanya adalah perubahan bentang alam kota Samarinda akibat operasi pertambangan batubara. Sekitar 71 persen dari luas Kota Samarinda telah dikapling oleh tambang batubara.
“Hampir tak ada bedanya operasi pertambangan di Kaltim (Kalimantan Timur-red) dan wc umum. Kaltim lebih mirip toilet, karena industri tambang, sawit, dan HPH hanya mampir mengeruk sumber daya alam, meninggalkan lubang, penggundulan hutan dan kekerasan. Datang, gali, dan pergi”, demikian kata Pengkampanye Energi Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah, Rabu (18/5), melalui siaran pers, saat melakukan aksi demonstrasi di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Aksi Jaringan Advokasi Tambang dibubarkan aparat keamanan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pada 2010, produksi batubara Kalimantan Timur adalah 183 juta ton, dimana 80 persennya diekspor keluar negeri. Hanya lima persen yang digunakan untuk kebutuhan Kalimantan. Sementara, di sekitar kawasan pengerukan batubara di Kalimantan, listrik hanya menyala 12 jam dalam seharinya.
Aktivitas Jaringan Advokasi Tambang yang melakukan demontrasi untuk memprotes kerusakan di Kalimantan Timur ini lantas kemudian dibubarkan aparat keamanan. Hal ini menyusul naiknya para aktivis secara diam-diam ke atas gerbang kanopi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sembari membentangkan sejumlah spanduk.

repost from: lenteratimur.com

Indonesia, antara yang istimewa dan tak istimewa

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai sistem kerajaan yang ada di Yogyakarta bertabrakan dengan demokrasi. Akan tetapi, Yogyakarta juga memiliki hak sejarah untuk bertahan dengan sistem yang demikian.
Jika Anda ingin menjadi gubernur atau wakil gubernur di Yogyakarta, buanglah harapan itu. Sebab, Yogyakarta adalah provinsi yang senyawa dengan Kerajaan Ngajogjakarta Hadiningrat. Yang menjadi pemimpin dan wakil pemimpin provinsi tersebut mestilah keturunan sultan. Orang biasa tak mungkin menduduki posisi pimpinan.
Dengan kondisi demikian, pemikiran pemerintah pusat pun dapat dipahami bahwa Yogyakarta memang tidak demokratis. Warga negara lain tidak memiliki hak memilih dan dipilih untuk menjadi pemimpin dalam mengurusi kebijakan-kebijakan publik. Padahal, demokrasi adalah suatu gagasan yang mengusung kesamaan hak dan kewajiban bagi seluruh manusia. Dengan tradisi gubernur yang selalu harus berdasarkan keturunan sultan, hal itu menjadi mustahil.
Namun demikian, pada saat yang sama, Yogyakarta memiliki hak sejarah untuk memberlakukan sistemnya sendiri. Melalui apa yang disebut Amanat 5 September 1945, Sultan Hamengkubuwono IX telah menyatakan penggabungan kerajaan, sekaligus dengan sistem penguasaan daerah, dengan Republik Indonesia yang baru berdiri satu bulan sebelumnya.
Dalam amanat tersebut tercantum tiga hal, yakni bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia; Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya; dan Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggungjawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Amanat serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII, bahwa Negeri Paku Alaman yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia; Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya; dan Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggungjawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Sebelum amanat tersebut keluar, Yogyakarta, sebagaimana kerajaan atau daerah lain, juga memiliki peran penting dalam pembentukan negara Republik Indonesia. Mereka menyumbangkan biaya dan hal lainnya untuk kepentingan kemerdekaan Indonesia.
Anhar Gonggong. Foto: Blogspot.
Oleh karena dua pemikiran yang sama kuat tersebut, sejarawan Anhar Gonggong merasa bahwa diperlukan kebijaksanaan negara dalam membuat keputusan.
“Sebenarnya presiden tidak salah. Dia menempatkan demokrasi dalam konstitusi. Tidak salah. Tetapi ada faktor sejarah yang harus dia pecahkan. Dan itu memerlukan kebijaksanaan. Juga kebijaksanaan politik oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat-red),” kata Anhar, Minggu (28/11), di Jakarta.
Akan tetapi, Anhar menambahkan bahwa kebijaksanaan yang akan diambil oleh negara, baik pemerintah maupun dewan, haruslah juga memperhatikan kehendak masyarakat Indonesia.
“Jangan hanya melihat kehendak dari masyarakat Yogya saja. Tapi perhatikan kehendak masyarakat Indonesia karena Yogya sudah menjadi bagian dari Republik Indonesia,” tambahnya.
Sementara itu, anggota Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, Rinto Taib, mengatakan bahwa pemerintah pusat semestinya bersikap responsif atas aspirasi lokal yang ada. Jika masyarakat lokal memiliki kehendak atau aspirasi politik yang berbeda dengan pusat, sebaiknya itu tidak lantas dihancurkan.
“Mungkin orang menilai (sistem politik Yogyakarta-red) ini inkonstitusional. Tapi ini kita lihat bagaimana partisipasi politik masyarakat. Pemerintah harusnya tidak berpikir sebagaimana paradigma Orde Baru. Paradigma Orde Baru memunculkan bentuk ketidakpuasan daerah. Dan ini bisa jadi bukan hanya Yogyakarta, bisa juga Ternate, dan lainnya. (aspirasi lokal-red) Itu semakin menguat. Mereka menyoal tentang keberadaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia-red). Pemerintah harus tanggap terhadap aspirasi masyarakat lokal,” kata Rinto yang sedang berada di Bogor, Minggu (28/11) (lihat juga NKRI Belum Final).
Kekecewaan masyarakat Yogyakarta sudah tampak belakangan ini. Dalam sebuah aksi teatrikal di Yogyakarta pada 5 September 2010 lalu, sebagai peringatan Amanat 5 September 1945, Daru Maheldaswara, sesepuh Kawula Ngayogyakarta Hadiningrat, bahkan mengatakan akan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia jika keistimewaan Yogyakarta terus diusik.
“Bagi kami keistimewaan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta-red) melalui penetapan (gubernur-red) itu adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Istimewa atau merdeka,” kata Daru seperti ditulis oleh www.jogjatrip.com pada  6 september 2010.
Kenapa Istimewa?
Meski demikian, membiarkan Yogyakarta dengan gubernur yang didasarkan pada keturunan sultan juga tidak luput dari masalah. Akan banyak kecemburuan mencuat dari daerah-daerah yang memiliki basis kerajaan kuat. Apalagi jika status istimewa itu didasarkan pada sikap pro Republik Indonesia saat perang dahulu.
Menurut Anhar, Kerajaan Yogyakarta bukanlah satu-satunya yang dahulu pro pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Banyak kerajaan lain yang juga melakukan tindakan serupa: menyumbangkan uang, fasilitas, atau turut bertempur melawan penjajah Eropa. Hanya saja, status istimewa diberikan kepada Yogyakarta lebih dikarenakan posisinya yang berdekatan dengan ibukota Indonesia, Jakarta, dan berada di Pulau Jawa.
“Semua kerajaan di Sulawesi Selatan itu adalah republiken. Tapi karena lokasi Yogyakarta dekat dengan Jakarta, di Pulau Jawa, ia menjadi istimewa. Andaikata Sukarno memindahkan ibukota di Bone, Kesultanan Bone juga menjadi Istimewa,” ungkap sejarawan asal Sulawesi Selatan itu.
Dukungan pada republik juga terlihat dari selamatnya Kerajaan Bone dan Yogyakarta dari amukan revolusi sosial 1946. Pada 1946, seluruh monarki dirontokkan oleh laskar-laskar rakyat yang menganggap kaum bangsawan selama ini bersekutu pada Eropa dan kurang atau pro pada Republik Indonesia.
“Itu sebabnya di kedua daerah ini (Bone dan Yogyakarta) tidak terjadi revolusi sosial. Berbeda dengan Solo dan Langkat,” papar Anhar.
Datuk Meiko Sofyan. Foto: Redaksi.
Pandangan senada juga muncul dari pemangku konstitusi hukum adat Kesultanan Siak Inderapura, Datuk Meiko Sofyan. Menurut Datuk, saat perang kemerdekaan, Sultan Siak Sri Inderapura, Syarif Khasim II, juga menyumbangkan harta pribadinya sebesar 13 juta gulden disamping bantuan dalam bentuk lain. Karena jasa kesultanan, Presiden Sukarno pernah memerintahkan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) ke Siak untuk menemui rakyat Siak yang pro republik. Hasilnya adalah pemberian status daerah istimewa kepada Kerajaan Siak.
Tapi status itu tak kunjung diperoleh. Alih-alih istimewa, wilayah inti Siak justru dijadikan kecamatan. Dan di kemudian hari, janji penggabungan kerajaan dengan republik menjadi cerita yang berbeda.
“Yang digabungkan Kerajaan Siak dengan NKRI sebetulnya adalah pemerintahannya. Jadi sultan waktu itu menyampaikan kita gabungkan pemerintahan, bukan air, bukan tanah, bukan minyaknya,” ujar Datuk dalam Dialog Menyoal Identitas Kebudayaan Nasional, 20 Mei 2010, di Jakarta.
Perjanjian dalam proses pengintegrasian kerajaan-kerajaan dengan Republik Indonesia juga terjadi pada Kerajaan Ternate. Dalam wawancara dengan Syahrinnisad, yang merupakan kakak kandung dari Mudaffar Syah, Sultan Ternate ke-48 yang berkuasa sejak 1975 hingga sekarang, disebutkan bahwa negara baru yang akan dibentuk itu akan memiliki sistem federasi.
“Mereka (Sukarno, Hatta, dan ayah Syahrinnisad-red) bicara dalam bahasa Belanda. Ayah saya ditanya Sukarno, jadi Pak Sultan mau bergabung dengan republik? Ayah saya bilang, maaf saja, saya mau republik, tapi sistemnya federal. Tapi Hatta bilang jangan dulu federal. Nanti saja belakangan,” tukas Syahrinnisad, yang biasa disapa Ibu Rini, di Ternate, Maluku Utara (lihat Negara Bagian Ternate).
La Ode Saleh Hanan. Foto: Redaksi.
Berbeda dengan semua pendapat di atas, La Ode Saleh Hanan, tokoh masyarakat Buton, Sulawesi Tenggara, justru mempertanyakan apa yang mendasari sebuah daerah disebut istimewa dan yang lainnya tidak. Ia menduga, mereka yang mendapat status tertentu, seperti istimewa atau khusus, dikarenakan kuatnya tekanan yang dibarengi kekerasan.
“Ketika Indonesia memberikan mereka label daerah istimewa atau daerah otonomi khusus, sebenarnya salah satu alasannya adalah karena adanya kekerasan. Sebenarnya bangsa-bangsa di Indonesia ini harus tersinggung seluruhnya ketika salah satu, dua, atau tiga bagian Indonesia diberi keistimewaan. Karena pertanyaannya, apa yang menjadi istimewa sehingga diperlakukan keistimewaan? Apa yang menyebabkan yang lain tidak diberi keistimewaan? Daerah kami dibangun oleh nilai rasa. Kami tidak melawan Belanda dan siapapun dengan kekerasan. Sehingga kami pun tidak ditulis dalam sejarah Indonesia,” kata Saleh dalam Dialog Menyoal Identitas Kebudayaan Indonesia, 20 Mei 2010, di Jakarta.
Meski daerah-daerah di Indonesia secara karakteristik dan sejarah berbeda-beda, Anhar menolak gejala timbulnya kembali kerajaan-kerajaan nusantara.
“Saya terus terang menolak gejala yang tampak sekarang, munculnya kerajaan nusantara. Itu tidak bisa ada lagi dalam kerangka republik. Kecuali mereka bergerak di budaya, (itu) terserah, (tapi kalau secara) politik sudah selesai,” kata Anhar.
Anhar menegaskan bahwa zaman sudah berubah. Ia sendiri kehilangan saudara saat revolusi karena dibantai oleh Westerling. Westerling adalah tentara Belanda kelahiran Turki, berpengalaman di medan tempur Eropa, yang melakukan pembantaian terhadap gerilyawan di Sulawesi Selatan. Namun, hal itu tidak membuat dirinya harus menuntut kerajaannya dikembalikan dan berfungsi secara politis.
“Saya tidak punya kekuatan untuk itu,” jelas Anhar.
Rinto Taib. Foto: Redaksi.
Berbeda dengan Anhar, Rinto Taib meminta agar semua pihak dapat berpikir terbuka atas kemungkinan-kemungkinan perubahan sembari melihat persoalan secara menyeluruh dan mendalam.
“Yang terjadi adalah adalah lagi-lagi kekhawatiran kita tentang Indonesia masa depan. Kita melihat hal selalu pada konteks kasuistik. Kita tidak menyentuh pada basis persoalan atau akar permasalahan dari sistem pemerintahan kita itu sendiri atau sistem politik negara kita. Selalu kita ditakutkan dengan segala bentuk kekhawatiran bangkitnya kesultanan, bangkitnya etnosentrisme, dan lain-lain. Padahal itu keliru. Kita sejak 1945, secara pemerintahan, merdeka, tapi secara kebangsaan dan kewilayahan kita belum utuh,” tandas Rinto.
Apapun perdebatannya, semestinya isu Yogyakarta dan demokratisasi dapat memunculkan suatu diskursus tentang nasionalisme dan keindonesiaan. Sebab, seperti manusia, Indonesia butuh untuk terus menerus dirawat.

repost from: lenteratimur.com

Persoalan Sumpah Pemuda

Gedung lama Museum Sumpah Pemuda. Foto-foto: www.museumsumpahpemuda.go.id.
Jika banyak orang melontarkan kritik sinis kepada komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, maka kritik serupa juga semestinya ditujukan pada bangunan wacana Sumpah Pemuda. Sejarah, termasuk Sumpah Pemuda, memiliki watak yang tak pernah suci. Ia sudah melalui penyaringan-penyaringan sedemikian rupa untuk mengokohkan apa-apa yang dikehendaki oleh sistem yang terproyeksikan.
Komposisi anggota Dewan, sebagaimana kita ketahui, tak pernah betul-betul menjadi sebuah representasi dari masyarakat Indonesia. Mayoritas anggota dewan tersebut sebetulnya berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
“Domisili terbanyaknya di jabodetabek, khususnya Jakarta. Persentasinya aku enggak hapal. Tapi lebih 70 persen. Jadi itu orang-orang jabodetabek yang dicalonkan untuk daerah,” kata Jeirry Sumampow, Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia, Kamis, (28/10), di Jakarta.
Para wakil itu dapat didudukkan di mana saja dan oleh siapa saja berdasarkan keputusan partai politik. Alhasil, seorang Batak, misalnya, dapat mewakili daerah pemilihan di pedalaman Jawa Timur tanpa harus memiliki ikatan batin, atau kesamaan bahasa, dengan penduduk setempat.
Kondisi semacam ini membuat Dewan Perwakilan Rakyat lebih tampak sebagai tempat akal bulus untuk memperoleh kekuasaan dan kenikmatan ekonomi ketimbang sebagai sesuatu yang bersifat perwakilan. Alhasil, ketika suatu daerah mengalami penggusuran semena-mena, misalnya, seringkali tak tampak ada anggota dewan terpilih dari daerah tersebut yang hadir di lokasi. Tak ada pembelaan, tak ada kepedulian. Dan itu semua dikarenakan tak ada bahasa batin yang sama.
Keterwakilan yang bermasalah juga sebetulnya terjadi pada kejadian Sumpah Pemuda pada 1928. Mereka yang melakukan sumpah sejatinya juga orang-orang Jakarta yang melakukan klaim sebagai perwakilan orang daerah. Mereka menyebut diri sebagai Jong Sumateranan Bond, Jong Batak, Jong Java, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Pemuda Kaum Betawi, atau Jong Celebes.
“Sebetulnya mereka adalah orang-orang yang lagi sekolah ke Jakarta. Mereka memang orang daerah. Amir Syarifudin, misalnya, itu kan orang Sumatera. Tapi kemudian memang dia enggak balik lagi. Menetap di Jakarta,” ujar Jeirry.
Undangan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.
Sumpah Pemuda yang lahir dalam Kongres Pemuda II digagas oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) pada 1928. Atas inisiatif Perhimpunan, kongres digelar dalam tiga kali rapat dengan tiga tempat berbeda.
Rapat pertama terjadi pada 27 Oktober 1928. Bertempat di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta), ketua Perhimpunan Sugondo Djojopuspito mengatakan bahwa tujuan diadakannya kongres ini tak lain untuk memperkuat semangat persatuan diantara para pemuda.
Rapat kedua dilangsungkan pada 28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop. Di sini, persoalan yang dibahas adalah mengenai pentingnya anak mendapatkan pendidikan kebangsaan dan demokrasi.
Rapat ketiga, yang juga dilangsungkan di Jakarta, berada di Gedung Indonesische Clubhuis Kramat 106. Di sini dibahas pentingnya gerakan kepanduan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari pergerakan nasional.
Saat hendak ditutup, Wage Rudolf Supratman memperdengarkan instrumental berjudul “Indonesia Raya” dengan biola. Setelah itu, kongres ditutup dengan mengumumkan tiga butir sumpah.
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia
Dilihat dari komposisinya, para pemuda itu bukanlah utusan dari negeri masing-masing. Dari yang menamakan diri Jong Sumatranen Bond, misalnya, seperti Mohammad Hatta (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat), Sutan Takdir Alisjahbana (lahir di Natal, Sumatera Utara), Muhammad Yamin (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat), Mohammad Amir (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat), Bahder Djohan (lahir di Padang, Sumatera Barat), atau Adenan Kapau Gani (lahir di Agam, Sumatera Barat), semuanya adalah pelajar yang berada dan kemudian hidup di Jakarta. Dari data yang ada, tampaknya hanya Hatta yang sempat berkecimpung secara politis dengan non-Jakarta, yakni Padang.
Jika hendak jujur, sebetulnya mereka tak lebih sebagai warga keturunan yang sedang berada di Jakarta. Mereka sama sekali tak dapat dipandang sebagai utusan dari sebuah sistem sosial kerajaan-kerajaan yang masih berkuasa ketika itu. Tindakan mereka seolah meniadakan adanya penduduk, sistem tata negara, tata masyarakat, sistem nilai, sistem kebudayaan, atau pencapaian-pencapaian kolektif tertentu di daerah masing-masing.
Sementara itu, mereka yang memiliki kesempatan untuk sekolah sebetulnya tak lepas dari strategi Belanda dalam apa yang disebut politik etis. Setelah menaklukkan banyak negeri, selain Aceh dan kawasan-kawasan lain di Sulawesi atau Kalimantan, Belanda kemudian memfasilitasi pemuda-pemuda untuk bersekolah, bahkan hingga ke luar negeri. Mereka yang memperoleh kesempatan ini umumnya berasal dari kalangan aristokrat.
Kemudahan dari Belanda juga terlihat dengan dapat diadakannya kongres di tempat terbuka di bawah kekuasaan Belanda. Tidak ada halangan dari Belanda, meski di Aceh dan berbagai kawasan lain tetap berjuang dan bersimbah darah dalam perlawanan terhadap Belanda. Sementara, para pemuda-pemuda yang bukan aristokrat tetap dalam kondisi marjinal.
Kenapa Belanda memperbolehkan diadakannya kongres? Tentu karena tidak ada persoalan kemerdekaan di sana. Apalagi mereka bukanlah utusan negeri-negeri yang sebetulnya masih bertempur dengan Belanda.
Fakta bahwa mereka yang melakukan sumpah bukanlah utusan semestinya menjadi refleksi tentang bagaimana seharusnya persatuan Indonesia dibangun di seluruh kawasan. Sebab Indonesia bukan hanya Jakarta dan sekitarnya.

repost from: lenteratimur.com

Negara Bagian Ternate

Bendera Kuning merujuk pada Kesultanan Ternate. Bendera Merah Putih merujuk pada Republik Indonesia. Dan bendera hitam merujuk pada identitas persatuan dari empat kerajaan yang ada di Maluku Utara, yakni Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Foto-foto: LenteraTimur.com/TM. Dhani Iqbal.
Istana Kerajaan Ternate tampak lengang pagi itu. Tak tampak ada kehidupan di halaman istana selain tiga buah bendera yang berkibar kencang ditiup angin laut.
Suasana sepi semakin menjadi ketika saya naik ke teras Istana. Di sini, laut terlihat bebas. Jarak Istana ke tepi laut hanya sekitar seratus meter. Dan posisinya terasa berada di tengah ketika mata memandang lurus ke depan, dimana pulau Halmahera tampak memanjang ke kiri, dan pulau Tidore memanjang ke kanan. Tiba-tiba saja saya merasa, angin yang menerpa ini adalah angin yang sama di ratusan tahun yang lampau. Seperti ada sejarah yang terbungkam di Istana ini.
Di ruang depan, sejarah itu seperti bayangan yang berhenti di depan saya. Di setiap sudut, ada cinderamata dan juga upeti dari negeri-negeri jauh dengan tahun yang cukup tua. Sebut saja perisai, baju, tembaga, dan topi dari Portugis pada 1510; tongkat dari kerajaan Sulu, Sabah, dan Mindanao pada 1610; topi perang dari Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen pada 1618; helm dan pedang dari Gubernur Mc Kenzie pada 1715; kelapa kembar dari Raja Sangir pada 1750; kelewang dari Gubernur Van Der Capellen pada 1815; atau cermin dan lampu-lampu dari Raja Willem III Belanda pada 1840.
Hadiah dari Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen dan Gubernur Mc Kenzie kepada Sultan Ternate.
Tepat di sudut dekat pintu penghubung antara ruang ini dengan ruang keluarga, terpampang simbol Kerajaan Ternate: “Gatuba Madopolo”. Gatuba Madopolo berarti burung garuda berkepala dua dengan gambar hati berwarna merah di tengahnya. Simbol burung garuda ini mirip dengan simbol burung garuda-nya Indonesia. Hanya saja, jika di kaki burung garuda Indonesia ada untaian kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”, di kaki garuda-nya Ternate tertulis “Limau Gapai” yang artinya Satu Kota Yang Tertinggi. Simbol garuda ini dibuat sejak jaman Kerajaan Moloku Kie Raha pada tahun 1322.
Suasana sunyi pelan-pelan pupus ketika saya masuk ke pendopo. Di sana, sejumlah anak perempuan sedang bersiap menari. Mereka tertawa dan melompat-lompat gembira. Belakangan saya tahu, pendopo itu memang telah menjadi tempat latihan menari bagi warga sekitar.
Saat saya memperhatikan anak-anak itu, dari sebuah lorong keluar seorang perempuan tua berpakaian daster putih bermotif bunga. Jalannya membungkuk. Wajahnya putih, bersih. Sangat cantik untuk perempuan yang kemudian saya ketahui berusia menjelang 80 tahun. Di sebelahnya ada perempuan yang memegangi tangannya.
Sebenarnya tak ada yang mencolok dari perempuan ini. Tapi entah kenapa, sedari tadi saya menduga, ibu ini pastilah “seseorang”.
Ruang tengah Istana Ternate dan simbol Kerajaan Ternate.
Dan ternyata benar. Ibu ini adalah kakak kandung dari Sultan Mudaffar Syah, Sultan Ternate ke 48 yang berkuasa sejak 1975 sampai sekarang. Namanya Syahrinnisad, atau yang lebih dikenal dengan Ibu Rini. Orang-orang di sekitar saya tak menunggu lama untuk menghampiri Ibu Rini. Semua membungkuk dan menciumi tangannya, termasuk sejumlah abdi dalam, atau maco’o dalam bahasa Ternate, yang sedari tadi duduk-duduk di sekitar pendopo.
“Orang Ternate itu pertama kali dipengaruhi oleh China,” demikian ucap Bu Rini saat saya mulai bertanya-tanya tentang sejarah Ternate. “Bahkan arsitek Istana Sultan Ternate ini adalah orang China. Tapi namanya saya lupa. Hong atau Cong.”
Kemudian tangannya menunjuk lurus ke depan, ke arah belakang Istana.
“Waktu saya masih kecil, saya sering bermain di rawa-rawa. Di sana ada kuburan orang China.”
Ibu Syahrinnisad, atau yang biasa disapa Ibu Rini.
Bu Rini diam sejenak. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat melihat pekarangan belakangan istananya itu, sesuatu yang tentu sudah dilihatnya berpuluh-puluh tahun.
“Dan 250 tahun sebelum Nabi Isa lahir, sudah ada perjanjian dagang antara Halmahera Utara dengan Melanesia. Apalagi jika dilihat dari bahasanya, bahasa Ternate ada hubungannya dengan filumpapua,” tutur Bu Rini penuh semangat, seakan sejarah ribuan tahun itu baru terjadi kemarin.
Ternate memang mendapat pengaruh dari banyak bangsa. Tidak hanya China, tetapi juga dari mana-mana, termasuk Melayu. Bahkan, di daerah selatan, dekat pasar, ada sebuah benteng yang bernama Benteng Melayu. Menurut Ibu Rini, benteng ini didirikan oleh orang-orang Melayu yang datang untuk berdagang cengkeh. Tapi pada 1605, Belanda masuk dan merebut benteng tersebut sekaligus merenovasinya. Namanya pun kemudian diganti menjadi Benteng Force Orange.
Pintu Masuk Benteng Force Orange, atau Benteng Melayu.
Hingga saat ini, benteng tersebut masih tegak berdiri. Meski jumlahnya tidak lagi utuh, meriam-meriamnya masih banyak bertebaran di setiap sudut. Rata-rata menghadap ke laut. Agaknya benteng ini dijadikan penghadang bagi kapal-kapal musuh yang hendak memasuki Ternate. Dulu, posisi benteng ini memang berbatasan langsung dengan laut lepas. Hanya saja, kini di depan benteng terdapat perumahan dan jalanan hasil reklamasi.
Benteng Melayu atau Benteng Force Orange bukanlah satu-satunya benteng di Ternate. Di pulau kecil ini, masih banyak benteng lain yang bertebaran. Menarik memang, karena sepertinya Portugis atau Belanda membutuhkan banyak sekali benteng untuk menaklukkan kerajaan yang secara geografis berada di pulau yang sangat kecil. Sebagai perbandingan, hanya dibutuhkan waktu sekitar 40 menit dengan perjalanan mobil untuk mengeliling seluruh pulau ini.
Di tempat yang tak begitu jauh, ada sebuah benteng yang bernama Benteng Santa Lucia atau Benteng Tolukko. Benteng ini dibuat oleh Fransisco Serrao, orang Portugis, pada 1512. Dari atas benteng ini, Pulau Halmahera terlihat memanjang dari tengah ke kiri dan Pulau Tidore memanjang dari tengah ke kanan. Benteng ini dibuat dengan ketinggian mencapai 620 sentimeter dari atas lembah dan 11 meter di atas permukaan laut. Namun pada 1692, Sutan Ternate bernama Tolukko merebut benteng ini dan mengganti namanya dengan nama dirinya.
Di atas Benteng Tolokku.
Selain itu, ada juga benteng-benteng lain yang dibuat oleh Portugis, seperti Benteng Nostra Senota Del Rosario pada 1512 dan Benteng Santo Pedro pada 1522. Selain itu, Belanda juga turut membuat benteng, misalnya Benteng Kalamata pada 1629.
“Yang terkenal sesudah Portugis adalah Benteng Kastela,” kata Bu Rini kemudian. “Sesudah Portugis diusir, Sultan Baabullah tinggal di Kastela.”
Kastela sendiri berasal dari kata castile atau kastil. Meski sangat bersejarah, Benteng Kastela saat ini sangat tidak terawat. Temboknya bolong di sana sini. Catnya tidak beraturan. Bahkan sudah ada mesjid yang posisinya menjorok ke dalam kawasan benteng.
Di atas gerbang masuk benteng, simbol garuda berkepala dua kembali muncul. Dan di bawah patung burung itu, ada tulisan “Jou Se Ngofa Ngare”. Ini sebuah idiom yang tidak bisa dimengerti secara harfiah. Meski demikian, kira-kira artinya adalah Sultan dan Rakyat Menyatu. Banyak penduduk sekitar benteng yang mengidentikkannya dengan konsep kemenyatuan Tuhan dengan manusia.
Di benteng inilah Sultan Ternate ke 25, Khairun, dibunuh oleh Portugis pada 28 Februari 1570. Dan sejak itu pula, anaknya Khairun, Sultan Ternate ke 26, Baabullah, mengobarkan amarah yang luar biasa terhadap Portugis.
Sejak hari kematian Khairun, Baabullah terus menyerang Portugis selama bertahun-tahun, termasuk mengisolasi benteng ini. Upayanya membuahkan hasil. Pada 28 Desember 1575, Portugis akhirnya menyerah. Setiap tanggal bersejarah ini terukir di masing-masing sisi dari sebuah tugu yang terdapat di dalam kawasan benteng Kastela.
Menghadap Pulau Halmahera dari teras istana.
Namun demikian, jika kerajaan-kerajaan lain di nusantara berhenti perang setelah musuh keluar dari wilayah teritorinya, tidak demikian halnya dengan Sultan Baabullah. Portugis yang sudah berhasil diusir, masih terus diburunya hingga ke Timor Leste dan Mindanao, Pilipina.
Bu Rini mengakui, Baabullah memang sangat terpukul dengan ulah Portugis yang membunuh ayahnya.
“Dan saat mengejar Portugis”, kata Bu Rini, “Baabullah meluaskan daerahnya sampai ke selatan, seperti Selangor; ke utara seperti Brunei, Sambas, kota batu Pilipina; ke barat seperti Makassar.”
Tidak hanya itu, Raja Goa bahkan melakukan kontrak perdamaian dengan Sultan Baabullah.
“Baabullah menguasai laut di (tempat yang kini di kenal sebagai) Indonesia Timur.”
Seiring bergulirnya waktu, muncul ide untuk mendirikan sebuah negara dikalangan pemimpin di kawasan nusantara yang tengah berperang melawan Belanda. Termasuk Ternate. Jakarta, dulu bernama Batavia, adalah kota dimana para pemimpin di berbagai wilayah bertemu dalam kepentingan sekolah.
“Dalam perjuangan Sukarno melawan penjajah, mereka ikut terlibat,” ucap Bu Rini. “Seperti bapak saya, yang waktu itu memilih bergabung dengan Agus Salim karena kesamaan ideologis, yaitu Islam. Begitu juga dengan Hatta, yang sudah dikenalnya sejak bekerja di Bandung.”
Namun demikian, kesepakatan membangun negara baru bukannya tanpa komitmen. Meski hendak meleburkan diri, Ternate tidak mau kehilangan identitasnya.
“Ayah saya mengharapkan (adanya persatuan dalam) republik,” tegas Bu Rini. “Tapi sistemnya federal. Masing-masing urus dirinya sendiri. Kecuali tentara yang harus bersatu. Sebenarnya Sukarno sendiri mau federal. Tapi karena Van Mook (duluan) bikin federasi, Sukarno akhirnya tidak mau.”
Istana Ternate.
Seperti halnya Sukarno, Mohammad Hatta pun memahami kehendak dari Ternate ini. Bu Rini ingat ketika ayahnya berdiskusi dengan Sukarno dan Hatta.
“Mereka bicara dalam bahasa Belanda. Ayah saya ditanya Sukarno, jadi Pak Sultan mau bergabung dengan republik? Ayah saya bilang, maaf saja, saya mau republik, tapi sistemnya federal. Tapi Hatta bilang, jangan dulu federal. Nanti saja belakangan.”
Menurut Bu Rini, konsep negara kesatuan bagi Hatta merupakan siasat. Setidaknya bersifat sementara. Negara yang baru berdiri akan sulit bertahan jika langsung menerapkan federasi.
“Lalu ayah saya bilang, oke,” kata Bu Rini.
Wajahnya tetap tenang saat mengucapkan ini. Hanya intonasinya saja yang terasa ada penekanan. Apalagi Hatta memang dikenal tegas dalam mendorong terbentuknya otonomi daerah – yang kelak gagal dan membuat Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada tanggal 1 Desember 1956.
Sempat memang, ide federalisme kembali mengemuka beberapa tahun yang lalu. Namun, entah kenapa, ide ini dianggap asing dan mendapat penolakan keras hingga menguap begitu saja. Konsep negara kesatuan dianggap sudah final. Banyak elit partai jaman ini yang terlanjur memandang federalisme sebagai bentuk pengkhianatan terhadap ide pendirian Negara Republik Indonesia.
Kota Ternate kini.
Tak lama Bu Rini pamit untuk beristirahat. Perempuan yang tadi berjalan bersamanya kembali memegangi tangan Bu Rini dan menuntunnya berjalan menuju kamar. Saya melihat punggung Bu Rini yang berjalan terbungkuk hingga lenyap di balik lorong yang menikung.
Saya kembali ke teras depan istana. Halmahera masih di kiri dan Tidore masih di kanan. Suasana sunyi kembali menyergap.

repost from : lenteratimur.com

Jakarta Vs Sumatera-Sulawesi, 53 Tahun Lampau

Peta Kepadatan Penduduk Indonesia. Gambar: www.bps.go.id.
Ketimpangan sosial di dalam bagian-bagian Indonesia bukan terjadi saat ini saja. Pada 53 tahun lampau, 15 Februari 1958, ketimpangan yang sama melahirkan gerakan serius: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Sebelumnya, ketidakadilan itu telah meretakkan hubungan dua proklamator Indonesia, Soekarno dan Hatta.
Kesenjangan sosial adalah sesuatu yang terus terjadi di Indonesia. Siapapun bisa menyaksikan megahnya Jakarta dengan, sebut saja, kelaparannya Nusa Tenggara Timur. Bahkan, ada juga orang yang memetakan Indonesia hanya dari Jakarta, Bandung, Yogya. Mungkin bagi sejumlah pihak, ini sudah menjadi biasa. Namun, dahulu, ini menyinggung harga diri. Ia melahirkan sebuah protes keras yang membuat Indonesia terbelah dalam perang saudara.
Di awal-awal berdirinya Republik Indonesia, perekonomian mengalami kepayahan. Indonesia begitu bergantung pada ekspor beberapa bahan mentah, seperti karet, timah, minyak, atau kopra. Bahan-bahan mentah ini umumnya dihasilkan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Maluku.
Pada 1950-an, kehidupan pertumbuhan berjalan timpang. Pembangunan ekonomi Jakarta, ibukota negara, dan Jawa, di satu sisi, berjalan begitu lancar, sementara pulau-pulau yang menghasilkan devisa, maupun yang tidak, terjerembab dalam kemiskinan. Padahal, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, atau Maluku menghasilkan ekspor bahan mentah yang jumlahnya mencapai sekitar tiga per empat dari devisa Indonesia seluruhnya. Namun, pemerintah pusat hanya mengalokasikan seperempat untuk daerah-daerah tersebut dan sisanya dibawa ke Jakarta.
“Soekarno tampaknya tidak pernah menyadari implikasi politik yang memperkuat perasaan anti-Jakarta di daerah-daerah yang menganggap kebijakan pusat itu sebagai Jawa-sentris,” tulis Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin dalam buku “Subversif Sebagai Politik Luar Negeri” (1997).
Konsentrasi penduduk dan sumber daya alam yang tidak merata menimbulkan permasalahan dalam sistem politik Indonesia. Pulau Jawa, yang tak memiliki sumber daya alam signifikan, memiliki jumlah penduduk terbanyak. Sementara Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, atau Maluku, yang masing-masing memiliki jumlah penduduk sedikit, mempunyai sumber daya alam melimpah. Daerah-daerah, yang dahulu negara-negara berdaulat, yang karena kesamaan nasib menggabungkan diri membentuk negara baru bernama Indonesia, merupakan pemilik tradisional kawasannya sendiri. Karenanya, otonomi administrasi dan ekonomi yang lebih besar semestinya suatu keniscayaan.
Pada saat itu, posisi pegawai tinggi administrasi lokal selalu diduduki oleh orang dari Jawa. Ini dikarenakan berpengalamannya mereka dalam masa pemerintahan kolonial Belanda. Selain itu, pendanaannya juga melulu ditentukan oleh birokrat Jakarta.
Berbeda dengan Soekarno yang tak begitu paham soal ekonomi namun begitu khawatir pada separatisme, Muhammad Hatta, yang juga proklamator Indonesia, justru menginginkan desentralisasi. Ini berbenturan dengan keinginan Soekarno yang menerapkan demokrasi terpimpin melalui negara kesatuan. Menurut Hatta, orang di kawasan masing-masing semestinya dapat berpartisipasi dan menentukan sendiri program-program yang menguntungkan daerahnya.
Selain itu, keinginan Soekarno untuk memasukkan Partai Komunis Indonesia dalam pemerintahan setelah Pemilihan Umum 1955 membuat Hatta kian gusar. Hatta yang dahulu begitu menonjol di masa revolusi, pada 1950-an hanya menjadi simbol persatuan nasional tanpa memiliki kekuatan.
Di masa yang sama, ketidakpuasan juga mencuat di tubuh militer Indonesia di sejumlah daerah terkait reorganisasi yang dilakukan oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution. Ini terjadi kala dimulainya penerapan pemerintahan kesatuan pada 1950 dahulu yang kemudian membuat beralihnya kekuasaan lokal selama revolusi kepada pemerintah pusat. Salah satunya adalah dibubarkannya Divisi Banteng di Sumatera Barat yang lalu dimasukkan ke dalam Komando Daerah Militer Sumatera Utara di bawah gubernur asal Jawa, Roeslan Moeljohardjo.
Seluruh persoalan ini berakumulasi dan menciptakan kegelisahan. Untuk membicarakannya, pada 20-24 November 1956, sejumlah komandan militer daerah berkumpul di Sumatera Barat. Hadir 612 veteran, termasuk Komandan Sumatera Utara Kolonel Maludin Simbolon, Komandan Sumatera Selatan Letnan Kolonel Barlian, dan Komandan Sumatera Barat Letnan Kolonel Achmad Husein.
Pertemuan ini melahirkan “Piagam Banteng” dengan empat tuntutan. Pertama, perubahan dalam kepemimpinan militer dan sipil Indonesia; kedua, otonomi yang luas bagi Sumatera Barat; ketiga, pemulihan Divisi Banteng; keempat, penghapusan sistem pemerintahan yang terpusat.
Di pertengahan bulan yang sama, Kalimantan Selatan bertindak cepat. Komandan Kalimantan Selatan Kolonel Abimanyu, yang dekat dengan bekas penjabat Kepala Staf Angkatan Darat, Zulkifli Lubis, bahkan memerintahkan penangkapan semua pejabat dari Jakarta, baik sipil maupun militer.
Bibit kekacauan ini tak dapat lagi diredam oleh Hatta. Alih-alih mendengarkan agenda desentralisasinya, Soekarno malah kian memusatkan kekuasaan pada dirinya. Puncaknya, pada 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Ia tak lagi segendang seirama dengan Soekarno.
Tindakan mundurnya Hatta ini berpengaruh besar bagi kawasan lain. Pada 20 Desember 1956, atas nama Dewan Banteng, Letnan Kolonel Husein lantas mengambil alih kekuasaan dari Roeslan Moeljohardjo. Ia menyatakan diri sebagai pelaksana pemerintahan di Sumatera Tengah.
Seperti bola salju, dua hari kemudian, pada 22 Desember 1956, Kolonel Simbolon juga melakukan kudeta di Sumatera Utara. Ia mengumumkan darurat perang di Sumatera Utara dengan tuntutan dwitunggal, Soekarno-Hatta, dipulihkan kembali. Sementara itu, Komandan Sumatera Selatan, Letnan Kolonel Barlian, membentuk Dewan Garuda, meski ia tetap berusaha netral
Dari gerakan-gerakan lokal tersebut, gerakan Simbolonlah yang dapat dengan cepat dilipat oleh Jenderal Nasution. Gagalnya Simbolon lebih dikarenakan kemampuan Nasution melakukan perpecahan di internal militer Sumatera Utara. Sedangkan pasukan tempur Nasution, yang diterjunkan di Medan dari pesawat militer, tidak menghasilkan apa-apa. Dari tiga puluh pasukan parasut, tulis Audrey R. Kahin, hanya tujuh belas orang yang patuh untuk terjun. Dari tujuh belas itu, satu orang tewas, empat belas patah tulang, dan dua orang luka berat
Karena dikejar Nasution, Simbolon merapat ke Sumatera Barat dan menjadi tokoh penting di balik gerakan demi gerakan yang terjadi kemudian.
Gejolak di Sumatera membuat Sulawesi, yang juga terhisap, turut gerah. Nasution tahu, maka ia segera menarik empat batalyon asal Jawa dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara sekaligus memberikan peranan lebih besar bagi pasukan lokal. Namun, ini tak cukup. Pada 2 Maret 1957, Panglima Indonesia Timur Letnan Kolonel H.N. Ventje Sumual malah mengumumkan status darurat perang di Indonesia Timur dan memberlakukan Undang-Undang Darurat Perang.
Indonesia Timur kemudian mengeluarkan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) dengan tiga tuntutan yang sama dengan gerakan di Sumatera. Tuntutan itu adalah memberlakukan otonomi lokal, pembangunan ekonomi dan pengendalian devisa, dan mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta.
Gerakan Sulawesi memicu Letnan Kolonel Barlian untuk bersikap tegas, dari yang semula tampak meragu. Pada 9 Maret 1957, ia mengambil alih pemerintahan sipil sekaligus memecat gubernurnya. Ia juga mempersenjatai ribuan veteran dan siap melakukan tindakan militer jika Nasution menyerang. 1200 tentara dari Dewan Banteng pun siap membantu Sumatera Selatan.
Di awal pergolakan 1957, Djuanda, seorang Sunda yang diangkat menjadi perdana menteri, dapat sedikit meredam suasana tegang. Dialog demi dialog dilakukan, meski tak membuahkan hasil maksimal, meski Soekarno sudah membebaskan tahanan politik yang berasal dari Dewan Banteng dan Dewan Garuda. Sebab, persoalannya sudah menjadi kompleks, tak lagi ihwal desentralisasi, otonomi, tetapi juga kekuasaan militer lokal dan ideologis mengingat para daerah tak ingin Partai Komunis Indonesia masuk dalam pemerintahan.
Untuk menegaskan sikap, pada 7-8 September 1957, para kolonel Sumatera dan Sulawesi membuat pertemuan di Palembang, Sumatera Selatan. Pertemuan yang melahirkan Piagam Palembang tersebut memiliki enam tuntutan. Pertama, pemulihan dwitunggal Soekarno-Hatta; kedua, penggantian pimpinan Angkatan Darat (Jenderal Nasution); ketiga, pelaksanaan desentralisasi dengan otonomi yang luas bagi daerah; keempat, pembentukan senat; kelima, penyederhanaan aparat pemerintah; dan keenam, melarang komunisme yang diorganisir secara internasional.
Sebelum pertemuan Palembang, sejumlah tokoh pergerakan, seperti Simbolon dan mantan menteri keuangan Indonesia Soemitro Djojohadikoesoemo, menemui para pejabat Amerika Serikat. Dalam hal membendung komunisme, konsep perlawanan dan konsentrasi Amerika Serikat selanggam seirama. Apalagi, dalam pemilu legislatif daerah pada November 1957, Partai Komunisme Indonesia meraup suara 25 persen lebih dari seluruh suara di Pulau Jawa. Bahkan, Partai Komunisme Indonesia menggantikan posisi Partai Nasionalis Indonesia sebagai partai terbesar di Yogyakarta.
Kedekatan Soekarno pada komunis membuat kelompok Islam bergerak. Pada 30 November 1957, Soekarno dilempar granat di Jalan Cikini, Jakarta. Ia selamat, tapi 11 orang tewas dan 30 luka parah. Pelakunya, sebagaimana tercatat dalam banyak literatur, adalah orang-orang yang tergabung dalam Gerakan Anti Komunis. Saat ditanya alasan penyerangan terhadap Soekarno di pengadilan, pelaku mengatakan itu perintah Allah.
Kolonel Zulkifli Lubis, mantan penjabat Kepala Staf Angkatan Darat yang memiliki rivalitas dengan Nasution, dituding sebagai aktor utama dalam kejadian tersebut. Dan partai Islam terbesar di Indonesia yang mayoritas suaranya berasal dari Sumatera dan Sulawesi, Masyumi, yang kendaraannya digunakan dalam percobaan pembunuhan tersebut, dicurigai. Para petinggi Masyumi kontan mendapat tekanan di Jakarta, hingga mereka banyak yang hengkang ke Sumatera pada Desember 1957, bergabung dengan gerakan perlawanan, sebagaimana yang juga dilakukan oleh Zulkifli Lubis.
Di akhir 1957 pula, dengan dukungan Amerika Serikat, kekuatan persenjataan kelompok perlawanan di Sumatera meningkat. Bahkan, Amerika Serikat sudah menyiapkan armada angkatan lautnya berupa kapal penjelajah di Filipina yang membawa Divisi Marinir III dan sekitar 20 helikopter. Satuan militer angkatan laut Amerika Serikat bahkan sudah memasuki kira-kira 500 mil di utara Sumatera. Kelak, Amerika Serikat menggerakkan lagi satuan tempurnya untuk merapat ke Singapura. Satuan tempur itu terdiri dari satu kapal penjelajah berat, dua kapal perusak, dan satu kapal induk.
Sementara itu, pemerintah pusat juga mendapat bantuan dari Blok Soviet, seperti Polandia, Cekoslowakia, dan Yugoslavia. Dari Januari hingga Agustus 1958, tulis Audrey R. Kahin, Angkatan Darat Republik Indonesia (ADRI) mendapatkan kredit ringan untuk pembelian senjata genggam, mortir, artileri, amunisi, 275 buah tank dan kendaraan lapis baja, serta 560 buah kendaraan tempur lainnya.
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) mendapatkan empat buah kapal perusak, 24 buah kapal torpedo, pemburu kapal selam dan kapal-kapal patroli, dua buah kapal selam, 18 buah pesawat terbang, senjata, mesiu, dan suku cadang. Sedangkan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) memperoleh 50 buah pesawat jet pencegat, 40 buah pesawat jet dan pesawat piston latih, 20 buah pesawat pengebom, 20 buah pesawat pengangkut, 8 buah helikopter, serta meriam-meriam anti serangan udara, peralatan elektronik, dan amunisi.
Untuk mempersulit pemasokan senjata, juga penjualan hasil bumi ke luar negeri, yang terus meningkat di akhir 1957, pemerintah pusat kemudian mendeklarasikan, di akhir tahun itu juga, tepatnya 13 Desember, bahwa batas perairan Indonesia diubah dari tiga mil menjadi dua belas mil. Batas ini diukur dengan menarik garis lurus yang menghubungkan pulau-pulau terjauh Republik Indonesia. Deklarasi ini dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
“… perubahan itu akan memudahkan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang selama itu tidak berdaya mengatasi penyelundupan hasil bumi yang dilakukan para panglima daerah militer ke Singapura yang sangat mengurangi pendapatan pemerintah dari hasil pajak serta memungkinkan penyergapan penyelundupan persenjataan ke daerah-daerah itu,” tulis Audrey R. Kahin.
Pada 9-10 Januari 1958, sejumlah tokoh perlawanan membuat pertemuan yang disebut Konferensi Sungai Dareh di Sumatera Barat. Tak saja Husein, Barlian, dan Simbolon yang hadir, tetapi juga Zulkifli Lubis, Sumual, dan panglima pertama Divisi Banteng yang dibubarkan Nasution, Dahlan Djambek. Selain itu, turut pula pemimpin-pemimpin sipil lain seperti Soemitro, petinggi-petinggi Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harapan – keduanya mantan perdana menteri Republik Indonesia, dan mantan Presiden/Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia saat agresi militer Belanda II pada Desember 1948, Sjafrudin Prawiranegara.
Tak lama setelah konferensi dilakukan, dibentuklah satu dewan tunggal yang merangkum Dewan Banteng (Sumatera Tengah), Dewan Garuda (sumatera Selatan), dan Perjuangan Rakyat Semesta (Sulawesi). Ia diberi nama Dewan Perjuangan.
Pada 10 Februari 1958, Husein, selaku ketua Dewan Perjuangan, mengultimatum pemerintah pusat melalui dokumen bertajuk Piagam Perjuangan: Untuk Menyelamatkan Negara. Ia memberi waktu selama lima hari kepada pemerintah pusat untuk menjalankan konstitusi, membatalkan semua tindakan yang melanggar konstitusi selama setahun terakhir, kabinet Djuanda mengembalikan mandat, dan Hatta serta Hamengkubuwono ditunjuk untuk membentuk kabinet yang baru sampai pemilihan umum berikutnya dilaksanakan.
Batas waktu lima hari kemudian lewat. Akhirnya, pada 15 Februari 1958, Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Pemerintahan revolusioner akan menjalankan pemerintahan hingga Hatta dan Hamengkubuwono memimpin kabinet. Jika tidak dilaksanakan, demikian bunyi ultimatum tersebut, pemerintah revolusioner akan terlepas dari kewajiban menaati Soekarno sebagai kepala negara.
Dalam pemerintah revolusioner ini, Sjafruddin duduk sebagai perdana menteri sekaligus menteri keuangan, Djambek sebagai menteri dalam negeri (kelak dipegang Assaat), Simbolon sebagai menteri luar negeri, Burhanuddin Harahap sebagai menteri pertahanan dan kehakiman, Soemitro sebagai menteri perdagangan dan perhubungan, Warow sebagai menteri pembangunan, Djambek sebagai menteri pos dan telekomunikasi (sebelumnya dipegang Assaat), dan pos-pos lain yang dipegang orang lain.
Sebagai perdana menteri, Sjafruddin membacakan program, bahwa pemerintah akan memberi otonomi yang luas kepada daerah dan pemerintah hanya bertanggungjawab atas pertahanan luar negeri, keuangan, perhubungan interinsuler, kehakiman, pendidikan, dan koordinasi kegiatan daerah. Selain itu, juga ada perubahan dalam kepemimpinan angkatan bersenjata, peningkatan kesejahteraan prajurit, dan pelarangan tentara menjadi anggota partai politik. Ia juga menekankan pembangunan perekonomian daerah dan industrialisasi di pulau-pulau berpenduduk padat, seperti Jawa, untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk.
Sjafruddin juga memerintahkan agar perusahaan-perusahaan minyak asing di Sumatera menghentikan pasokan minyak dan devisa ke Jakarta. Sekaligus, meminta Federal Reserve Bank di New York, Amerika Serikat, dan Bank of England, Inggris, membekukan aset-aset pemerintah pusat. Menteri luar negeri Simbolon juga menyerukan kepada semua duta besar untuk melapor ke negara masing-masing dan lantas mengirimkan perwakilan ke Padang, Sumatera Barat.
Permesta di Sulawesi, juga militer Manado, kemudian memberikan dukungan solidaritas kepada pemerintah revolusioner seraya memutuskan hubungan dengan pemerintah Jakarta.
Alih-alih merespon positif, Nasution langsung memecat perwira militer yang terlibat secara tidak hormat seraya memerintahkan agar mereka ditangkap. Komando-komando militer di daerah-daerah terkait dibekukan. Sementara, Djuanda juga memerintahkan penangkapan kepada tokoh-tokoh sipil: Sjafruddin, Burhanuddin, dan Soemitro.
Tindakan Nasution membuat rakyat Sumatera Barat bersatu. Pemuda dan mahasiswa yang ada di Pulau Jawa, sekitar 400 orang, pulang ke Padang dan dilatih kemiliteran untuk turut melakukan perlawanan.
Dan perang saudara dimulai. Pada 21 Februari 1958, Angkatan Udara Republik Indonesia menyerang Sumatera Barat. Mereka mengebom Padang dan Bukittinggi, dan Manado, Sulawesi Utara. Peralatan komunikasi hancur. Secara berturut-turut, pemerintah pusat juga menyerang Riau, Medan, dan Tapanuli.
Dan atas perintah Nasution, Kolonel Ahmad Yani menyisiri perairan Sumatera Barat untuk kemudian melakukan pengeboman terhadap Padang dan wilayah-wilayah pesisir. Karena dibombardir sedemikian rupa, akhirnya Padang direbut pemerintah pusat pada 17 April 1958. Pasukan pemerintah pusat terus bergerak hingga pada 4 Mei Bukittinggi, ibukota Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, dapat diduduki.
Husein pun terdesak. Selain karena gencarnya serangan pemerintah pusat, ia juga harus menghadapi keengganan sejumlah pasukan untuk melakukan perang saudara, suatu kengganan yang juga sempat melanda komando-komando militer di Jawa. Untuk itu, ia mundur ke pedalaman dan melakukan taktik perang gerilya.
Sementara itu, Sumatera Selatan tidak melakukan apa-apa. Sedari awal, Barlian memang tak pernah menginginkan pecahnya perang saudara.
Karena Bukittinggi sudah jatuh, pemerintah revolusioner memindahkan ibukotanya ke benteng Permesta di Manado, Sulawesi Utara. Kolonel Warouw diangkat menjadi kepala pemerintahan dengan jabatan wakil perdana menteri.
Meski demikian, perlawanan Sumatera belum usai. Perang justru kian berkobar di pedalaman Sumatera melalui taktik perang yang pernah digunakan kala melawan Belanda. Di sini, pertempuran menjadi begitu emosional. Pasukan pemerintah revolusioner sangat marah karena orang-orang yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, yang pernah ditahan oleh Dewan Banteng, dibebaskan oleh pasukan pemerintah pusat. Mereka dibawa dari Padang untuk kemudian memburu pasukan pemerintah revolusioner. Orang-orang tersebut kemudian malah diberikan posisi-posisi administratif di seluruh wilayah Sumatera Barat yang sudah dikuasai pemerintah pusat. Selain itu, bantuan juga datang dari laskar-laskar Partai Komunis Indonesia yang berjumlah enam ribu orang.
Di pihak pasukan pemerintah pusat, kemarahan juga meninggi saat menemukan bukti-bukti keterlibatan keterlibatan Amerika Serikat dan negara lain dengan pemerintah revolusioner.
Meski perang di Sumatera belum selesai, namun perlawanan dianggap sudah melemah oleh Amerika Serikat. Karena itu, Amerika Serikat meningkatkan dukungannya dengan lebih signifikan di Sulawesi. Bahkan, di Sulawesi tak hanya Amerika Serikat yang mendukung secara persenjataan dan personil militer, tetapi juga pemerintah Chiang Kai-Sek, Filipina, dan Korea Selatan.
Dukungan sejumlah negara ini terutama dilakukan di sektor udara. Permesta lalu membentuk Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) yang cukup kuat. Pada April 1958, mereka menyerang instalasi-instalasi milik pemerintah pusat di Makassar, Sulawesi Selatan, Kendari, Sulawesi Tenggara, Balikpapan, Kalimantan Timur,Ternate, Jailolo, Morotai, Maluku Utara, dan Ambon. Mereka mengebom markas Angkatan Udara Republik Indonesia, lapangan terbang, dan pesawat-pesawat milik pemerintah Jakarta. Dari pertengahan April hingga Mei, Permesta sudah mengendalikan seluruh Indonesia Timur.
Di sini, posisi Morotai amatlah penting. Sebab, dengan berpangkal di Morotai, Angkatan Udara Revolusioner menargetkan sudah dapat menyerang Bandung, Surabaya, dan Jakarta untuk kemudian direbut sebelum akhir Mei 1958.
Menghadapi gempuran demi gempuran ini, pemerintah pusat kemudian menarik pasukan-pasukannya dari Sumatera dan mengarahkannya ke Sulawesi. Pada Mei 1958, Angkatan Udara Republik Indonesia mengebom instalasi-instalasi Angkatan Udara Revolusioner di Manado, Gorontalo, Morotai, Jailolo, dan Halmahera. Mereka menghancurkan pesawat-pesawat Angkatan Udara Revolusioner, termasuk kota pelabuhan di Pulau Ambon, dan merebut lapangan-lapangan udara.
Gempuran balasan ini membuyarkan impian Permesta untuk merebut Jakarta. Bahkan, pada pertengahan Juni 1958, kekuatan Angkatan Udara Revolusioner sudah berkurang separuh. Menjelang akhir Juni 1958, Permesta kian terdesak. Warouw, wakil perdana menteri pemerintah revolusioner, memerintahkan agar Kota Manado dikosongkan. 28 Juni 1958, Manado dikuasai pemerintah pusat. Warouw dan pasukannya mundur ke perbatasan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, dan melakukan perang gerilya berkepanjangan.
Tersudutnya Sulawesi, juga Sumatera, membuat Amerika Serikat mengubah haluan politiknya terhadap Indonesia. Mereka berpikir untuk sebaiknya merangkul pemerintah pusat ketimbang melawannya. Mereka melihat Soekarno adalah sumbu politik Indonesia yang harus didekati, bukan lagi untuk dilenyapkan.
Kemudian, Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan Nasution, juga petinggi-petinggi Angkatan Darat Republik Indonesia. Angkatan Darat meyakinkan Amerika Serikat bahwa Indonesia tidak akan jatuh pada komunisme. Pengalaman Angkatan Darat dalam menumpas gerakan komunis di Madiun pada 1948 menjadi faktor.
“Di Markas Besar Angkatan Darat,” tulis Audrey R. Kahin mengutip pernyataan perwira Andi Jusuf kepada Asisten Atase Militer Amerika Serikat, “mereka menyebut para pemimpin operasi sebagai ‘putra-putra Eisenhower’. Jani (komandan operasi di Sumatera), Rukmito, Huhnholz (pemimpin operasi di Morotai), dan saya sendiri, kami semua dilatih di Amerika Serikat”.
Amerika Serikat juga mulai berpandangan bahwa jika memberikan bantuan kepada pemerintah pusat, maka pemerintah pusat akan berterimakasih dan kemudian menghindarkan diri dari jatuhnya negara pada komunisme. Dan bantuan Amerika Serikat pun mulai membanjiri pemerintah pusat teruntuk Angkatan Darat Republik Indonesia, Angkatan Laut Republik Indonesia, dan Angkatan Udara Republik Indonesia. Sebut saja 20 buah pesawat F-51. Limpahan dari Amerika Serikat lambat laun melebihi limpahan (keringanan membeli) senjata dari Blok Soviet. Konsekuensinya, pemerintah pusat kemudian hanya membeli dari negara-negara Barat.
Sementara itu, jumlah bantuan untuk pemerintah revolusioner mulai menyurut perlahan-lahan. Bahkan, Amerika Serikat dan sekutunya mulai menarik personilnya dari Manado.
Selanjutnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Tindakan ini diapresiasi oleh Amerika Serikat. Sebab, dengan dekrit yang berisi pembubaran parlemen dan mematahkan pemerintahan parlementer itu, berarti memupus jalan bagi Partai Komunis Indonesia, yang kian membesar kala itu, untuk meraih kekuasaan melalui jalur parlemen.
Meski dukungan Amerika Serikat sudah berkurang, yang pada kenyataannya dirasakan beberapa waktu kemudian, perang gerilya di Sumatera dan Sulawesi masih terus berlangsung. Dan demi melihat begitu agresifnya pemerintah pusat, pemerintah revolusioner meningkatkan emosi perlawanan dengan meyakini Soekarno tak lagi bisa diajak berunding atau berubah.
Melalui Natsir dan Sjafruddin, pemerintah revolusioner mendirikan Republik Persatuan Indonesia yang berbentuk federasi. Pendirian republik baru ini dilakukan setelah melakukan serangkaian dialog pada pertengahan 1959 dengan kelompok Darul Islam, yakni pada Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Di dalam Republik Persatuan Indonesia, ada sepuluh negara bagian yang masing-masing bersifat otonom dan dapat memilih pemerintahannya sendiri sesuai budaya dan keinginan rakyatnya. Adapun pemerintah federal memiliki peranan terbatas, yakni terutama pada hubungan luar negeri, pertahanan, dan perhubungan.
Akan tetapi, gagasan Republik Persatuan Indonesia ini memperoleh tentangan banyak pihak di kalangan pemerintah revolusioner. Salah satunya adalah Zulkifli Lubis. Menurut Lubis, tak mungkin dapat bekerjasama dengan Darul Islam karena adanya perbedaan ideologi. Bekerjasama dengan Darul Islam tak lebih dikarenakan pertimbangan taktis saja.
“Kami mempunyai musuh yang sama; ini bukan suatu tindakan strategis karena gagasan-gagasan kami berbeda,” kata Zulkifli Lubis pada 1991 saat diwawancarai Audrey R. Kahin.
Alih-alih menyatukan, keberadaan Republik Persatuan Indonesia justru menjadi salah satu faktor ambruknya gerakan perlawanan secara keseluruhan. Perbedaan pendapat di kalangan kelompok perlawanan menjadi tajam, dan itu membuat mereka melemah. Perbedaan pandangan itu terjadi di saat pasukan pemerintah pusat kian agresif.
Sementara itu, di Sulawesi, terjadi kekacauan antara pasukan satu dengan pasukan lain. Tidak ada konsep persatuan apapun di antara gerakan perlawanan yang dapat menjadikan mereka menjadi satu barisan. Satu sama lain seringkali baku hantam. Bahkan, tewasnya Warouw pada 15 Oktober 1960 bukan dikarenakan serangan pasukan pemerintah pusat, tetapi oleh pasukan-pasukan lain di Sulawesi.
Karena terus terdesak, pada Maret hingga April 1961, Kawilarang, seorang petinggi Permesta yang sebelumnya dikenal karena memenangkan pertempuran melawan Belanda saat memimpin tentara Republik Indonesia di Tapanuli, Sumatera Utara, menyerah bersama 36 ribu pasukan kepada Nasution. Terakhir adalah Sumual, yang menyerah pada 15 Oktober 1961.
Menyerahnya Sulawesi mengagetkan Sumatera. Moral melemah. Dan berangsur-angsur, pada Juni hingga Agustus 1961, Husein, Zulkifli Lubis, dan para komandan militer beserta pasukannya di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan, menyerah. Begitu juga Sjafrudin dan Burhanuddin. Sumatera Barat adalah kawasan terakhir yang menyerah di Sumatera.
Meski demikian, masih ada yang tak mau menyerah. Mereka adalah Natsir, Djambek, dan beberapa orang lain di Sumatera Barat yang sangat sadar mereka begitu dimusuhi oleh orang-orang komunis. Dan Djambek akhirnya dibunuh dalam penyergapan yang dilakukan organisasi pemuda sayap Partai Komunis Indonesia. Adapun Natsir menyerah pada 25 September 1961 dan dipenjarakan oleh Soekarno sampai sang presiden tumbang pada 1966.
Indonesia Kini
Ulama Sumatera Barat Buya Mas’oed Abidin melihat keadaan Indonesia sebetulnya tak berbeda jauh dengan masa 1950-an. Harga-harga masih mahal dan masih ada kawasan yang begitu makmur namun di saat yang sama ada begitu banyak kawasan lain yang amat terpuruk.
Meski demikian, ada beberapa hal yang dahulu diperjuangan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia kini sudah menjadi kenyataan. Sebut saja pembubaran Partai Komunis Indonesia, otonomi daerah berupa pemilihan umum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dan pembentukan senat. Senat, yang berarti wakil negara-negara, kini dinamai Dewan Perwakilan Daerah.
“Perimbangan itu sudah terjadi tapi belum maksimal. Contohnya, kesempatan anak-anak daerah untuk maju lebih susah. Tingkat pendidikan di daerah dengan pusat juga berbeda. Kesenjangan-kesenjangan ini akan menjadikan perasaan tidak puas bagi masyarakat itu sendiri,” ujar Buya di Padang, Senin (14/2), kepada LenteraTimur.com.
Buya menambahkan bahwa sebetulnya tugas pemerintah itu hanya dua. Pertama, membuat rakyatnya tenteram, aman, dan nyaman; dan kedua, membuat masyarakatnya sejahtera dan berkeadilan.
“Apakah kesejahteraan itu sudah adil? Itu jawabnya ada di pemerintah,” ungkap Buya.
Regulasi desentralisasi ini pada kenyataannya belum memunculkan pertumbuhan ekonomi baru di daerah-daerah. Jakarta, ibukota negara, masih terus melesat dan tak terkejar oleh daerah-daerah lain. Jakarta membuat jalan tol secara terus menerus dan menggelimangi dirinya dengan sekian banyak proyek. Pada saat yang sama, di Entikong, Kalimantan Barat, orang beramai-ramai pindah warganegara akibat kesejahteraan ekonomi yang merosot.
Di Jawa, melalui campur tangan Jakarta, dibuatlah jembatan besar yang menghubungkan Surabaya dan Madura di Jawa Timur. Bahkan, ada juga rencana membangun jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera pada 2013, yakni antara Merak, Banten, dengan Bakauheni, Lampung. Padahal, pada saat yang sama, sudah menahun transportasi masyarakat di Kalimantan atau Sulawesi kedodoran dan terjerembab. Di Maumere, Nusa Tenggara Timur, misalnya, angkutan kota yang melaluinya pun hanya satu buah per hari. Atau untuk mencapai Banda, Maluku, orang akan sulit sekali karena pesawat hanya ada dua kali seminggu dan kapal feri dua minggu sekali.
Ketidakadilan serupa terasa saat rapat kerja antara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Dewan Perwakilan Daerah, PT. Perkebunan Negara, Ketua Kamar Dagang Indonesia, dan pihak lainnya saat membahas bagi hasil perkebunan antara provinsi dengan pemerintah pusat.
Seperti dilaporkan situs berita asal Medan, Sumatera Utara, starberita.com pada 16 September 2010, perkebunan yang luasnya sekitar satu hektar menghasilkan minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 1,696 juta ton, atau senilai Rp. 10,7 triliun. Dari hasil tersebut, pemerintah provinsi hanya mendapat kurang lebih Rp. 1 triliun, sedangkan sisanya dibawa ke pusat.
Untuk itu, rapat yang melibatkan banyak pihak itu meminta agar Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah direvisi.
Dalam undang-undang perimbangan keuangan tersebut, perkebunan memang tidak masuk dalam kategori sumber daya alam. Yang disebut bagi hasil dari sumber daya alam, sebagaimana dalam pasal 11 ayat 3, adalah kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
Sementara itu, komposisi pembagian kue ekonomi dalam sektor-sektor sumber daya alam itu ditetapkan variatif.
Sektor Penerimaan Pusat Daerah
Kehutanan (Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan Provisi Sumber Daya Hutan) 20 % 80%
Kehutanan (Dana Reboisasi) 60% 40%
Pertambangan Umum 20% 80%
Perikanan (Nasional) 20% 80% seluruh kabupaten/kota
Pertambangan Minyak Bumi (setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya) 84,5% 15,5%
Pertambangan Gas Bumi (setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya) 69,5% 30,5%
Pertambangan Panas Bumi (Penerimaan Negara Bukan Pajak) 20% 80%
Sumber: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pasal 14.
Skema Klasik
Sementara itu, pada Januari 2011, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gita Wirjawan, membuat skema investasi – skema yang bukan hal baru – di Indonesia berdasarkan dua kategori: Jawa dan Luar Jawa. Pada 2010, alokasi investasi di Luar Jawa adalah 38 persen dan Jawa 62 persen dari total investasi sekitar Rp. 200 trilyun. Kondisi 2010 disebutkan lebih baik ketimbang 2009, dimana Luar Jawa mendapat porsi 13,57 persen dan Jawa memperoleh 86,43 persen.
Selanjutnya Gita optimis bahwa penanaman modal, yang tak lagi membedakan dalam negeri dan asing, di Indonesia akan lebih besar. Untuk 2011, pihaknya berencana menggenjot investasi di Luar Jawa dengan porsi antara 30-40 persen dari total target realisasi investasi sebesar Rp. 230 trilyun.
Skema modal di Indonesia memang sudah lama mengenal dualisme. Di kawasan yang luasnya nyaris sama antara Inggris hingga Turki ini, skemanya disederhanakan dengan pelabelan Jawa dan Luar Jawa. Hal yang sama tak hanya terjadi di bidang ekonomi. Dalam politik atau kebudayaan, termasuk kala pemilihan presiden, orang diakrabkan dengan istilah Jawa dan Luar Jawa.
Skema ini bukan datang  begitu saja. Jika hendak menengok ke negeri lain, Eropa, ia seperti pengejawantahan atas konsep liyan atau “yang lain” (the other). Konsep liyan ini bermuatan substantif filosofis yang cukup kompleks dan memiliki konteksnya masing-masing dalam diskursus pemikiran kontemporer. Ia muncul sebagai perlawanan atas pemikiran “yang sama” (the same) atau penyeragaman, yang sempat menyelimuti proyek modernitas di masyarakat Barat. Konsep ini berimplikasi pada suatu tindakan perangkuman yang lain ke dalam kriteria-kriteria yang diciptakan subjek.
Konsekuensi dari hadirnya konsep liyan ini adalah adanya pengakuan atas keberadaan yang lain. Dengan pengakuan itu, maka suara-suara liyan berhak untuk didengar. Dalam konteks Indonesia, liyan, yang merujuk pada entitas Luar Jawa, dianggap sebagai suatu tindakan penyederhanaan.
Negara Indonesia adalah suatu entitas dengan kompleksitas tinggi. Ia berpenduduk lebih dari 137 juta orang yang berasal dari ratusan etnis dan bahasa, yang berarti terdiri dari ratusan cara pandang dan kebudayaan. Ia tersebar di lebih 17 ribu lebih pulau dengan luas sekitar tiga juta kilometer persegi (www.indonesia.go.id).
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363 orang. Dari jumlah ini, 58 persen atau hampir 138 juta orang berada di Pulau Jawa; 21 persen atau hampir 50 juta orang di Pulau Sumatera; 7 persen atau hampir 17 juta orang di Pulau Sulawesi, 6 persen atau hampir 15 juta orang di Pulau Kalimantan; 6 persen atau hampir 15 juta orang di Pulau Bali dan Nusa Tenggara; dan 3 persen atau sekitar 7 juta orang di Pulau Papua dan Maluku. Adapun provinsi yang terpadat penduduknya adalah ibukota negara, Jakarta, yang berada di Pulau Jawa.
Kepadatan penduduk di pulau-pulau ini berbanding terbalik dengan luas wilayahnya. Jawa, yang memiliki penduduk terbanyak, luasnya sekitar 138 ribu kilometer persegi; Sumatera sekitar 474 ribu kilometer persegi; Sulawesi hampir 190 ribu kilometer persegi; Kalimantan hampir 540 ribu kilometer persegi; dan Papua hampir 422 ribu kilometer persegi.
Berdasarkan anatomi ini, komposisi Jawa dan Luar Jawa didasarkan pada pemikiran besaran jumlah penduduk. Padahal, pada saat yang sama, pulau yang sedikit penduduknya memiliki karakter dan kekayaan sumber daya alam yang  berbeda-beda. Penduduk setempat, secara tradisional, adalah pemilik dari tanah-tanah di kawasannya, yang biasanya melekat dengan kosmologi spiritual-kebudayaannya.
Menyebut Jawa dan Luar Jawa pada gilirannya merupakan tindakan penyamaan persoalan. Pelabelan itu mengindikasikan bahwa Jawa adalah sama, tunggal, dan Luar Jawa juga menjadi satu entitas tunggal, yang menjadi objek dari Jawa. Di dalam apa yang disebut Jawa dan Luar Jawa, ia sebetulnya terdiri dari beragam karakter, kepentingan, kebudayaan, dan sumber-sumber daya alam yang berbeda-beda.
“Di sana terdapat penunggalan imajinasi tentang “Jawa” dan “Kejawaan”, juga “Luar Jawa” dan “Keluarjawaan”. Karena Jawa yang direproduksi di sana, biasanya adalah Jawa Yogya atau Solo (Jawa Tengah-red), Jawa adiluhung. Tak termasuk orang Madura (Jawa Timur-red), Banten, atau Betawi (Jakarta). Sedangkan Luar Jawa, tentu hasil penunggalannya jauh lebih dahsyat, karena entitas-entitasnya jauh lebih majemuk,” ujar esais Muhammad Al-Fayyadl kepada LenteraTimur.com, Sabtu (12/2), di Jakarta.
Fayyadl menambahkan bahwa pengkategorian Jawa dan Luar Jawa sudah terjadi sejak era kolonial. Jawa dipandang sebagai pusat segala sesuatu. Dan dikotomi ini kemudian diamini sendiri oleh orang Jawa.
Senada dengan Fayyadl, Soffa Ihsan, penulis buku-buku tentang marjinalitas, memaparkan bahwa yang dimaksud Jawa bukanlah Jawa seutuhnya. Hanya saja, ia menukikkan skema Jawa itu pada pusat kekuasaan yang berada di Pulau Jawa, yakni Jakarta. Artinya, Jakarta menggunakan Jawa sebagai selubung atau komoditas politik dari dirinya sendiri.
“Menurutku, penyebutan Jawa jangan semata dalam artian “etnik”, tapi merupakan “pusat kekuasaan” yang ada di Jawa, yakni Jakarta. Maksudnya, pusat kekuasaan yang dimainkan dan dikendalikan oleh penguasa Jawa yang utamanya berawal dari Soeharto. Di sini, perlu ada pemilahan yang tajam antara pusat kekuasaan politik Jawa di satu pihak dengan peradaban Jawa di pihak lain”, jelas Soffa kepada LenteraTimur.com, Sabtu (12/2), di Jakarta.
Lebih lanjut Soffa mengemukakan bahwa dikotomi Jawa dan Luar Jawa sebaiknya tidak lagi digunakan. Sebab, seperti pemikiran Fayyadl, tidak mungkin ada penyamaan di dalam istilah Jawa dan Luar Jawa. Di dalamnya ada perbedaan-perbedaan signifikan yang harus diakui eksistensinya.
“Saya kira, kita jangan lagi terjebak ke penyebutan “Jawa-Luar Jawa”. Anggap itu sebagai warisan masa lalu yang sifatnya lebih politis. Bahkan, kalau kita melihat, sebenarnya justru wilayah-wilayah “luar Jawa” tampak sekali adanya kemandirian atau otonomi. Beda dengan di Jawa yang terkesan masih kuatnya ketergantungan. Dan ini karena Jawa masih kuat primordialismenya. Beda dengan “Luar Jawa” lebih egaliter dan terbuka,” papar Soffa.

repost from: http://www.lenteratimur.com/jakarta-vs-sumatera-sulawesi-53-tahun-lampau/

EL MELAYU CLASSICO

Indonesia dan Malaysia. Gambar: Repro.
Pertandingan final sepakbola Piala Federasi Sepakbola Asean (AFF) 2010 antara Indonesia dan Malaysia pada 26 dan 29 Desember 2010 akan lebih dari sekedar pertandingan olahraga. Ia ibarat perang saudara dengan dua nasionalisme yang baru “kemarin” dibuat.
Jika kaos kedua negara dicopot, maka sesungguhnya taklah ada beda diantara keduanya. Kulit sama coklat-hitam, rambut sama hitam, dialek sama bunyi, dan bahasa sama pengertian. Keduanya juga masih memiliki persoalan perbatasan yang sama. Kalaupun berbeda, itu hanya ada pada identitas negaranya. Tapi, negara itupun sebetulnya juga sama-sama tak lepas dari bikinan orang-orang Eropa, khususnya Belanda dan Inggris.
Sebelum tendangan pertama pada 26 November 2010 di Bukit Jalil, Malaysia, sulit untuk tak ingat pada penentuan mana Indonesia dan mana Malaysia yang dilakukan Eropa saat menancapkan kaki jahatnya di kawasan Asia Tenggara. Melalui serangkaian taktik, strategi, dan perjanjian, Belanda dan Inggris membagi-bagi kue kekuasaan di banyak tempat. Di Pulau Kalimantan dan Pulau Sebatik, kedua kolonial itu membuat gerakan membagi kekuasaan melalui The Boundary Convention di London pada 20 Juni 1891, The Boundary Agreement di London pada 28 September 1915, dan The Boundary Convention di Den Haag pada 26 Maret 1918.
Berdasarkan bagi-bagi kue Belanda dan Inggris itulah pemerintah Republik Indonesia, yang bersemangat penuh melakukan nasionalisasi atas apa-apa yang menjadi milik Belanda, dan pemerintah Kerajaan Malaysia kemudian bertemu dan membuat kesepakatan pada 28 November 1973 di Jakarta dan 18 November 1974 di Sabah mengenai perbatasan di Kalimantan.
Karena orang Eropa itu sudah minggat, dan di wilayah yang ditinggalkan muncul negara-negara baru, tak pelak muncul kesulitan. Sebab, posisi perbatasan yang dibuat Belanda dan Inggris, yang dibuat berdasarkan kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri, kerap menggunakan tanda-tanda alam. Dan tanda alam itu kini banyak yang sudah lenyap, bergeser, atau butuh penafsiran ulang. Karenanya, pada 2004 saja Indonesia dan Malaysia sudah membuat 19.328 buah tugu sebagai penegasan batas kedua negara (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, 2004).
Perilaku membelah-belah kawasan tak hanya dilakukan Belanda dan Inggris di Kalimantan. Hal yang sama juga terjadi di Papua pada 16 Mei 1895. Ketika itu, kedua negara sepakat membelah Pulau Irian (Papua) menjadi dua: bagian barat dikuasai Belanda dan bagian timur dikuasai Inggris. Bagian barat selanjutnya menjadi bagian Indonesia dan bagian timur diserahkan kepada Australia, yang kemudian menjadi negara sendiri bernama Papua New Guinea.
Seperti Papua, batasan yang sama juga terjadi di kawasan Timor Leste. Hanya saja, kali ini bagi-bagi kue tidak dilakukan Belanda dengan Inggris, melainkan dengan Portugal. Perjanjian-perjanjian kedua negara Eropa itu terjadi pada 20 April 1859, 10 Juni 1883, 1 Juli 1893, dan 1 Oktober 1904. Timor Leste, yang dikuasai Portugal, kemudian menjadi bagian dari Indonesia, sebagaimana Nusa Tenggara Timur yang dikuasai Belanda. Tapi kemudian Timor Leste menjadi negara sendiri pada 1999.
Namun demikian, persinggungan yang paling banyak dan sering terjadi memang adalah antara Indonesia dan Malaysia. Keduanya menempel dari arah barat ke arah timur Kalimantan. Ia juga menempel di Selat Singapura dan Selat Malaka. Keduanya pun tak hanya dekat secara geografis, tetapi juga lekat secara kebudayaan dan nenek moyang.
Ambil misal Bintan, yang terakhir menjadi tempat saling tangkap orang-orang antarkedua negara. Secara faktual, Bintan adalah bagian dari Indonesia. Tapi, secara historis, ia merupakan halaman dari Kesultanan Johor, Malaysia.
Melalui Traktat London pada 1824, Belanda dan Inggris membelah kesultanan tersebut menjadi dua. Johor yang beribukota di Singapura dimiliki Inggris, dan Riau-Lingga, yang merupakan pecahan Johor, dikuasai Belanda. Selanjutnya, seperti biasa, apa-apa yang dimiliki Belanda menjadi milik Indonesia dan apa-apa yang dimiliki Inggris menjadi milik Malaysia.
Kedekatan kebudayaan juga tampak dari saling silang keturunan antarkedua negara pada zaman dahulu. Sebut saja sejumlah isteri Sultan Deli yang berasal dari putri-putri Kesultanan Perak, Kesultanan Johor, atau Kesultanan Kedah. Begitu juga Sultan-sultan di Selangor dan Johor merupakan keturunan anak-anak Sultan Bugis. Sultan pertama Negeri Sembilan pun adalah putra dari Sultan Pagaruyung. Sedangkan Sultan Terengganu berasal dari Kesultanan Palembang. Dan Sultan pertama Siak tak lain adalah putra dari Sultan terakhir Malaka.
Saling silang keturunan ini, dalam perspektif sekarang, tentu membuat kebudayaan keduanya tampak tumpang tindih. Ketika Malaysia hendak merawat kebudayaannya, tentulah itu berarti mereka akan mengeksplorasi kebudayaan yang juga eksis di Indonesia. Sayang memang, tak banyak orang memahami hal sesederhana ini.
Sementara itu, dalam kekinianpun, serial kartun Upin Ipin yang milik Malaysia, misalnya, juga digemari di Indonesia. Selain kesamaan kebudayaan dan bahasa yang digunakan oleh tokoh Upin dan Ipin, nuansa sosiologis dan dialeknya juga sama dengan masyarakat Indonesia di banyak tempat, khususnya di Kalimantan dan Sumatera. Apalagi, seperti kata Jusuf Kalla dalam pidato kebudayaan di Jakarta, Juli lalu, pembuat serial kartun itu juga orang Indonesia yang karyanya telah ditolak oleh televisi-televisi asal Jakarta.
Fakta bahwa pembentukan negara Indonesia dan Malaysia, juga banyak negara-negara di Asia Tenggara, merupakan hasil dari pembagian kue kekuasaan antara Inggris dan Belanda rasanya perlu untuk dipahami masyarakat luas. Keduanya pernah disakiti oleh orang-orang Eropa. Bahkan, wilayah tradisional keduanya dibagi-bagi di London atau Den Haag tanpa seizin atau sepengetahuan subjek-subjek di dalamnya; seolah tak ada manusia dan peradaban di dalamnya.
Berdasarkan fakta sejarah ini, maka menyaksikan laga sepakbola kedua negara akan menjadi lebih mengasyikkan. Kini keduanya bertemu dalam kaos negara yang berbeda. Siapa yang lebih tertib? Siapa yang kini unggul? Indonesia lawan Malaysia. El Melayu Clasico. Selamat bertanding. Peluklah negara yang kalah.

repost from : http://www.lenteratimur.com/el-melayu-clasico-indonesia-vs-malaysia/