Senin, 11 Juli 2011

Jakarta Vs Sumatera-Sulawesi, 53 Tahun Lampau

Peta Kepadatan Penduduk Indonesia. Gambar: www.bps.go.id.
Ketimpangan sosial di dalam bagian-bagian Indonesia bukan terjadi saat ini saja. Pada 53 tahun lampau, 15 Februari 1958, ketimpangan yang sama melahirkan gerakan serius: Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Sebelumnya, ketidakadilan itu telah meretakkan hubungan dua proklamator Indonesia, Soekarno dan Hatta.
Kesenjangan sosial adalah sesuatu yang terus terjadi di Indonesia. Siapapun bisa menyaksikan megahnya Jakarta dengan, sebut saja, kelaparannya Nusa Tenggara Timur. Bahkan, ada juga orang yang memetakan Indonesia hanya dari Jakarta, Bandung, Yogya. Mungkin bagi sejumlah pihak, ini sudah menjadi biasa. Namun, dahulu, ini menyinggung harga diri. Ia melahirkan sebuah protes keras yang membuat Indonesia terbelah dalam perang saudara.
Di awal-awal berdirinya Republik Indonesia, perekonomian mengalami kepayahan. Indonesia begitu bergantung pada ekspor beberapa bahan mentah, seperti karet, timah, minyak, atau kopra. Bahan-bahan mentah ini umumnya dihasilkan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, atau Maluku.
Pada 1950-an, kehidupan pertumbuhan berjalan timpang. Pembangunan ekonomi Jakarta, ibukota negara, dan Jawa, di satu sisi, berjalan begitu lancar, sementara pulau-pulau yang menghasilkan devisa, maupun yang tidak, terjerembab dalam kemiskinan. Padahal, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, atau Maluku menghasilkan ekspor bahan mentah yang jumlahnya mencapai sekitar tiga per empat dari devisa Indonesia seluruhnya. Namun, pemerintah pusat hanya mengalokasikan seperempat untuk daerah-daerah tersebut dan sisanya dibawa ke Jakarta.
“Soekarno tampaknya tidak pernah menyadari implikasi politik yang memperkuat perasaan anti-Jakarta di daerah-daerah yang menganggap kebijakan pusat itu sebagai Jawa-sentris,” tulis Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin dalam buku “Subversif Sebagai Politik Luar Negeri” (1997).
Konsentrasi penduduk dan sumber daya alam yang tidak merata menimbulkan permasalahan dalam sistem politik Indonesia. Pulau Jawa, yang tak memiliki sumber daya alam signifikan, memiliki jumlah penduduk terbanyak. Sementara Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, atau Maluku, yang masing-masing memiliki jumlah penduduk sedikit, mempunyai sumber daya alam melimpah. Daerah-daerah, yang dahulu negara-negara berdaulat, yang karena kesamaan nasib menggabungkan diri membentuk negara baru bernama Indonesia, merupakan pemilik tradisional kawasannya sendiri. Karenanya, otonomi administrasi dan ekonomi yang lebih besar semestinya suatu keniscayaan.
Pada saat itu, posisi pegawai tinggi administrasi lokal selalu diduduki oleh orang dari Jawa. Ini dikarenakan berpengalamannya mereka dalam masa pemerintahan kolonial Belanda. Selain itu, pendanaannya juga melulu ditentukan oleh birokrat Jakarta.
Berbeda dengan Soekarno yang tak begitu paham soal ekonomi namun begitu khawatir pada separatisme, Muhammad Hatta, yang juga proklamator Indonesia, justru menginginkan desentralisasi. Ini berbenturan dengan keinginan Soekarno yang menerapkan demokrasi terpimpin melalui negara kesatuan. Menurut Hatta, orang di kawasan masing-masing semestinya dapat berpartisipasi dan menentukan sendiri program-program yang menguntungkan daerahnya.
Selain itu, keinginan Soekarno untuk memasukkan Partai Komunis Indonesia dalam pemerintahan setelah Pemilihan Umum 1955 membuat Hatta kian gusar. Hatta yang dahulu begitu menonjol di masa revolusi, pada 1950-an hanya menjadi simbol persatuan nasional tanpa memiliki kekuatan.
Di masa yang sama, ketidakpuasan juga mencuat di tubuh militer Indonesia di sejumlah daerah terkait reorganisasi yang dilakukan oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution. Ini terjadi kala dimulainya penerapan pemerintahan kesatuan pada 1950 dahulu yang kemudian membuat beralihnya kekuasaan lokal selama revolusi kepada pemerintah pusat. Salah satunya adalah dibubarkannya Divisi Banteng di Sumatera Barat yang lalu dimasukkan ke dalam Komando Daerah Militer Sumatera Utara di bawah gubernur asal Jawa, Roeslan Moeljohardjo.
Seluruh persoalan ini berakumulasi dan menciptakan kegelisahan. Untuk membicarakannya, pada 20-24 November 1956, sejumlah komandan militer daerah berkumpul di Sumatera Barat. Hadir 612 veteran, termasuk Komandan Sumatera Utara Kolonel Maludin Simbolon, Komandan Sumatera Selatan Letnan Kolonel Barlian, dan Komandan Sumatera Barat Letnan Kolonel Achmad Husein.
Pertemuan ini melahirkan “Piagam Banteng” dengan empat tuntutan. Pertama, perubahan dalam kepemimpinan militer dan sipil Indonesia; kedua, otonomi yang luas bagi Sumatera Barat; ketiga, pemulihan Divisi Banteng; keempat, penghapusan sistem pemerintahan yang terpusat.
Di pertengahan bulan yang sama, Kalimantan Selatan bertindak cepat. Komandan Kalimantan Selatan Kolonel Abimanyu, yang dekat dengan bekas penjabat Kepala Staf Angkatan Darat, Zulkifli Lubis, bahkan memerintahkan penangkapan semua pejabat dari Jakarta, baik sipil maupun militer.
Bibit kekacauan ini tak dapat lagi diredam oleh Hatta. Alih-alih mendengarkan agenda desentralisasinya, Soekarno malah kian memusatkan kekuasaan pada dirinya. Puncaknya, pada 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Ia tak lagi segendang seirama dengan Soekarno.
Tindakan mundurnya Hatta ini berpengaruh besar bagi kawasan lain. Pada 20 Desember 1956, atas nama Dewan Banteng, Letnan Kolonel Husein lantas mengambil alih kekuasaan dari Roeslan Moeljohardjo. Ia menyatakan diri sebagai pelaksana pemerintahan di Sumatera Tengah.
Seperti bola salju, dua hari kemudian, pada 22 Desember 1956, Kolonel Simbolon juga melakukan kudeta di Sumatera Utara. Ia mengumumkan darurat perang di Sumatera Utara dengan tuntutan dwitunggal, Soekarno-Hatta, dipulihkan kembali. Sementara itu, Komandan Sumatera Selatan, Letnan Kolonel Barlian, membentuk Dewan Garuda, meski ia tetap berusaha netral
Dari gerakan-gerakan lokal tersebut, gerakan Simbolonlah yang dapat dengan cepat dilipat oleh Jenderal Nasution. Gagalnya Simbolon lebih dikarenakan kemampuan Nasution melakukan perpecahan di internal militer Sumatera Utara. Sedangkan pasukan tempur Nasution, yang diterjunkan di Medan dari pesawat militer, tidak menghasilkan apa-apa. Dari tiga puluh pasukan parasut, tulis Audrey R. Kahin, hanya tujuh belas orang yang patuh untuk terjun. Dari tujuh belas itu, satu orang tewas, empat belas patah tulang, dan dua orang luka berat
Karena dikejar Nasution, Simbolon merapat ke Sumatera Barat dan menjadi tokoh penting di balik gerakan demi gerakan yang terjadi kemudian.
Gejolak di Sumatera membuat Sulawesi, yang juga terhisap, turut gerah. Nasution tahu, maka ia segera menarik empat batalyon asal Jawa dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara sekaligus memberikan peranan lebih besar bagi pasukan lokal. Namun, ini tak cukup. Pada 2 Maret 1957, Panglima Indonesia Timur Letnan Kolonel H.N. Ventje Sumual malah mengumumkan status darurat perang di Indonesia Timur dan memberlakukan Undang-Undang Darurat Perang.
Indonesia Timur kemudian mengeluarkan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) dengan tiga tuntutan yang sama dengan gerakan di Sumatera. Tuntutan itu adalah memberlakukan otonomi lokal, pembangunan ekonomi dan pengendalian devisa, dan mengembalikan dwitunggal Soekarno-Hatta.
Gerakan Sulawesi memicu Letnan Kolonel Barlian untuk bersikap tegas, dari yang semula tampak meragu. Pada 9 Maret 1957, ia mengambil alih pemerintahan sipil sekaligus memecat gubernurnya. Ia juga mempersenjatai ribuan veteran dan siap melakukan tindakan militer jika Nasution menyerang. 1200 tentara dari Dewan Banteng pun siap membantu Sumatera Selatan.
Di awal pergolakan 1957, Djuanda, seorang Sunda yang diangkat menjadi perdana menteri, dapat sedikit meredam suasana tegang. Dialog demi dialog dilakukan, meski tak membuahkan hasil maksimal, meski Soekarno sudah membebaskan tahanan politik yang berasal dari Dewan Banteng dan Dewan Garuda. Sebab, persoalannya sudah menjadi kompleks, tak lagi ihwal desentralisasi, otonomi, tetapi juga kekuasaan militer lokal dan ideologis mengingat para daerah tak ingin Partai Komunis Indonesia masuk dalam pemerintahan.
Untuk menegaskan sikap, pada 7-8 September 1957, para kolonel Sumatera dan Sulawesi membuat pertemuan di Palembang, Sumatera Selatan. Pertemuan yang melahirkan Piagam Palembang tersebut memiliki enam tuntutan. Pertama, pemulihan dwitunggal Soekarno-Hatta; kedua, penggantian pimpinan Angkatan Darat (Jenderal Nasution); ketiga, pelaksanaan desentralisasi dengan otonomi yang luas bagi daerah; keempat, pembentukan senat; kelima, penyederhanaan aparat pemerintah; dan keenam, melarang komunisme yang diorganisir secara internasional.
Sebelum pertemuan Palembang, sejumlah tokoh pergerakan, seperti Simbolon dan mantan menteri keuangan Indonesia Soemitro Djojohadikoesoemo, menemui para pejabat Amerika Serikat. Dalam hal membendung komunisme, konsep perlawanan dan konsentrasi Amerika Serikat selanggam seirama. Apalagi, dalam pemilu legislatif daerah pada November 1957, Partai Komunisme Indonesia meraup suara 25 persen lebih dari seluruh suara di Pulau Jawa. Bahkan, Partai Komunisme Indonesia menggantikan posisi Partai Nasionalis Indonesia sebagai partai terbesar di Yogyakarta.
Kedekatan Soekarno pada komunis membuat kelompok Islam bergerak. Pada 30 November 1957, Soekarno dilempar granat di Jalan Cikini, Jakarta. Ia selamat, tapi 11 orang tewas dan 30 luka parah. Pelakunya, sebagaimana tercatat dalam banyak literatur, adalah orang-orang yang tergabung dalam Gerakan Anti Komunis. Saat ditanya alasan penyerangan terhadap Soekarno di pengadilan, pelaku mengatakan itu perintah Allah.
Kolonel Zulkifli Lubis, mantan penjabat Kepala Staf Angkatan Darat yang memiliki rivalitas dengan Nasution, dituding sebagai aktor utama dalam kejadian tersebut. Dan partai Islam terbesar di Indonesia yang mayoritas suaranya berasal dari Sumatera dan Sulawesi, Masyumi, yang kendaraannya digunakan dalam percobaan pembunuhan tersebut, dicurigai. Para petinggi Masyumi kontan mendapat tekanan di Jakarta, hingga mereka banyak yang hengkang ke Sumatera pada Desember 1957, bergabung dengan gerakan perlawanan, sebagaimana yang juga dilakukan oleh Zulkifli Lubis.
Di akhir 1957 pula, dengan dukungan Amerika Serikat, kekuatan persenjataan kelompok perlawanan di Sumatera meningkat. Bahkan, Amerika Serikat sudah menyiapkan armada angkatan lautnya berupa kapal penjelajah di Filipina yang membawa Divisi Marinir III dan sekitar 20 helikopter. Satuan militer angkatan laut Amerika Serikat bahkan sudah memasuki kira-kira 500 mil di utara Sumatera. Kelak, Amerika Serikat menggerakkan lagi satuan tempurnya untuk merapat ke Singapura. Satuan tempur itu terdiri dari satu kapal penjelajah berat, dua kapal perusak, dan satu kapal induk.
Sementara itu, pemerintah pusat juga mendapat bantuan dari Blok Soviet, seperti Polandia, Cekoslowakia, dan Yugoslavia. Dari Januari hingga Agustus 1958, tulis Audrey R. Kahin, Angkatan Darat Republik Indonesia (ADRI) mendapatkan kredit ringan untuk pembelian senjata genggam, mortir, artileri, amunisi, 275 buah tank dan kendaraan lapis baja, serta 560 buah kendaraan tempur lainnya.
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) mendapatkan empat buah kapal perusak, 24 buah kapal torpedo, pemburu kapal selam dan kapal-kapal patroli, dua buah kapal selam, 18 buah pesawat terbang, senjata, mesiu, dan suku cadang. Sedangkan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) memperoleh 50 buah pesawat jet pencegat, 40 buah pesawat jet dan pesawat piston latih, 20 buah pesawat pengebom, 20 buah pesawat pengangkut, 8 buah helikopter, serta meriam-meriam anti serangan udara, peralatan elektronik, dan amunisi.
Untuk mempersulit pemasokan senjata, juga penjualan hasil bumi ke luar negeri, yang terus meningkat di akhir 1957, pemerintah pusat kemudian mendeklarasikan, di akhir tahun itu juga, tepatnya 13 Desember, bahwa batas perairan Indonesia diubah dari tiga mil menjadi dua belas mil. Batas ini diukur dengan menarik garis lurus yang menghubungkan pulau-pulau terjauh Republik Indonesia. Deklarasi ini dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
“… perubahan itu akan memudahkan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) yang selama itu tidak berdaya mengatasi penyelundupan hasil bumi yang dilakukan para panglima daerah militer ke Singapura yang sangat mengurangi pendapatan pemerintah dari hasil pajak serta memungkinkan penyergapan penyelundupan persenjataan ke daerah-daerah itu,” tulis Audrey R. Kahin.
Pada 9-10 Januari 1958, sejumlah tokoh perlawanan membuat pertemuan yang disebut Konferensi Sungai Dareh di Sumatera Barat. Tak saja Husein, Barlian, dan Simbolon yang hadir, tetapi juga Zulkifli Lubis, Sumual, dan panglima pertama Divisi Banteng yang dibubarkan Nasution, Dahlan Djambek. Selain itu, turut pula pemimpin-pemimpin sipil lain seperti Soemitro, petinggi-petinggi Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harapan – keduanya mantan perdana menteri Republik Indonesia, dan mantan Presiden/Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia saat agresi militer Belanda II pada Desember 1948, Sjafrudin Prawiranegara.
Tak lama setelah konferensi dilakukan, dibentuklah satu dewan tunggal yang merangkum Dewan Banteng (Sumatera Tengah), Dewan Garuda (sumatera Selatan), dan Perjuangan Rakyat Semesta (Sulawesi). Ia diberi nama Dewan Perjuangan.
Pada 10 Februari 1958, Husein, selaku ketua Dewan Perjuangan, mengultimatum pemerintah pusat melalui dokumen bertajuk Piagam Perjuangan: Untuk Menyelamatkan Negara. Ia memberi waktu selama lima hari kepada pemerintah pusat untuk menjalankan konstitusi, membatalkan semua tindakan yang melanggar konstitusi selama setahun terakhir, kabinet Djuanda mengembalikan mandat, dan Hatta serta Hamengkubuwono ditunjuk untuk membentuk kabinet yang baru sampai pemilihan umum berikutnya dilaksanakan.
Batas waktu lima hari kemudian lewat. Akhirnya, pada 15 Februari 1958, Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Pemerintahan revolusioner akan menjalankan pemerintahan hingga Hatta dan Hamengkubuwono memimpin kabinet. Jika tidak dilaksanakan, demikian bunyi ultimatum tersebut, pemerintah revolusioner akan terlepas dari kewajiban menaati Soekarno sebagai kepala negara.
Dalam pemerintah revolusioner ini, Sjafruddin duduk sebagai perdana menteri sekaligus menteri keuangan, Djambek sebagai menteri dalam negeri (kelak dipegang Assaat), Simbolon sebagai menteri luar negeri, Burhanuddin Harahap sebagai menteri pertahanan dan kehakiman, Soemitro sebagai menteri perdagangan dan perhubungan, Warow sebagai menteri pembangunan, Djambek sebagai menteri pos dan telekomunikasi (sebelumnya dipegang Assaat), dan pos-pos lain yang dipegang orang lain.
Sebagai perdana menteri, Sjafruddin membacakan program, bahwa pemerintah akan memberi otonomi yang luas kepada daerah dan pemerintah hanya bertanggungjawab atas pertahanan luar negeri, keuangan, perhubungan interinsuler, kehakiman, pendidikan, dan koordinasi kegiatan daerah. Selain itu, juga ada perubahan dalam kepemimpinan angkatan bersenjata, peningkatan kesejahteraan prajurit, dan pelarangan tentara menjadi anggota partai politik. Ia juga menekankan pembangunan perekonomian daerah dan industrialisasi di pulau-pulau berpenduduk padat, seperti Jawa, untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk.
Sjafruddin juga memerintahkan agar perusahaan-perusahaan minyak asing di Sumatera menghentikan pasokan minyak dan devisa ke Jakarta. Sekaligus, meminta Federal Reserve Bank di New York, Amerika Serikat, dan Bank of England, Inggris, membekukan aset-aset pemerintah pusat. Menteri luar negeri Simbolon juga menyerukan kepada semua duta besar untuk melapor ke negara masing-masing dan lantas mengirimkan perwakilan ke Padang, Sumatera Barat.
Permesta di Sulawesi, juga militer Manado, kemudian memberikan dukungan solidaritas kepada pemerintah revolusioner seraya memutuskan hubungan dengan pemerintah Jakarta.
Alih-alih merespon positif, Nasution langsung memecat perwira militer yang terlibat secara tidak hormat seraya memerintahkan agar mereka ditangkap. Komando-komando militer di daerah-daerah terkait dibekukan. Sementara, Djuanda juga memerintahkan penangkapan kepada tokoh-tokoh sipil: Sjafruddin, Burhanuddin, dan Soemitro.
Tindakan Nasution membuat rakyat Sumatera Barat bersatu. Pemuda dan mahasiswa yang ada di Pulau Jawa, sekitar 400 orang, pulang ke Padang dan dilatih kemiliteran untuk turut melakukan perlawanan.
Dan perang saudara dimulai. Pada 21 Februari 1958, Angkatan Udara Republik Indonesia menyerang Sumatera Barat. Mereka mengebom Padang dan Bukittinggi, dan Manado, Sulawesi Utara. Peralatan komunikasi hancur. Secara berturut-turut, pemerintah pusat juga menyerang Riau, Medan, dan Tapanuli.
Dan atas perintah Nasution, Kolonel Ahmad Yani menyisiri perairan Sumatera Barat untuk kemudian melakukan pengeboman terhadap Padang dan wilayah-wilayah pesisir. Karena dibombardir sedemikian rupa, akhirnya Padang direbut pemerintah pusat pada 17 April 1958. Pasukan pemerintah pusat terus bergerak hingga pada 4 Mei Bukittinggi, ibukota Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, dapat diduduki.
Husein pun terdesak. Selain karena gencarnya serangan pemerintah pusat, ia juga harus menghadapi keengganan sejumlah pasukan untuk melakukan perang saudara, suatu kengganan yang juga sempat melanda komando-komando militer di Jawa. Untuk itu, ia mundur ke pedalaman dan melakukan taktik perang gerilya.
Sementara itu, Sumatera Selatan tidak melakukan apa-apa. Sedari awal, Barlian memang tak pernah menginginkan pecahnya perang saudara.
Karena Bukittinggi sudah jatuh, pemerintah revolusioner memindahkan ibukotanya ke benteng Permesta di Manado, Sulawesi Utara. Kolonel Warouw diangkat menjadi kepala pemerintahan dengan jabatan wakil perdana menteri.
Meski demikian, perlawanan Sumatera belum usai. Perang justru kian berkobar di pedalaman Sumatera melalui taktik perang yang pernah digunakan kala melawan Belanda. Di sini, pertempuran menjadi begitu emosional. Pasukan pemerintah revolusioner sangat marah karena orang-orang yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, yang pernah ditahan oleh Dewan Banteng, dibebaskan oleh pasukan pemerintah pusat. Mereka dibawa dari Padang untuk kemudian memburu pasukan pemerintah revolusioner. Orang-orang tersebut kemudian malah diberikan posisi-posisi administratif di seluruh wilayah Sumatera Barat yang sudah dikuasai pemerintah pusat. Selain itu, bantuan juga datang dari laskar-laskar Partai Komunis Indonesia yang berjumlah enam ribu orang.
Di pihak pasukan pemerintah pusat, kemarahan juga meninggi saat menemukan bukti-bukti keterlibatan keterlibatan Amerika Serikat dan negara lain dengan pemerintah revolusioner.
Meski perang di Sumatera belum selesai, namun perlawanan dianggap sudah melemah oleh Amerika Serikat. Karena itu, Amerika Serikat meningkatkan dukungannya dengan lebih signifikan di Sulawesi. Bahkan, di Sulawesi tak hanya Amerika Serikat yang mendukung secara persenjataan dan personil militer, tetapi juga pemerintah Chiang Kai-Sek, Filipina, dan Korea Selatan.
Dukungan sejumlah negara ini terutama dilakukan di sektor udara. Permesta lalu membentuk Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) yang cukup kuat. Pada April 1958, mereka menyerang instalasi-instalasi milik pemerintah pusat di Makassar, Sulawesi Selatan, Kendari, Sulawesi Tenggara, Balikpapan, Kalimantan Timur,Ternate, Jailolo, Morotai, Maluku Utara, dan Ambon. Mereka mengebom markas Angkatan Udara Republik Indonesia, lapangan terbang, dan pesawat-pesawat milik pemerintah Jakarta. Dari pertengahan April hingga Mei, Permesta sudah mengendalikan seluruh Indonesia Timur.
Di sini, posisi Morotai amatlah penting. Sebab, dengan berpangkal di Morotai, Angkatan Udara Revolusioner menargetkan sudah dapat menyerang Bandung, Surabaya, dan Jakarta untuk kemudian direbut sebelum akhir Mei 1958.
Menghadapi gempuran demi gempuran ini, pemerintah pusat kemudian menarik pasukan-pasukannya dari Sumatera dan mengarahkannya ke Sulawesi. Pada Mei 1958, Angkatan Udara Republik Indonesia mengebom instalasi-instalasi Angkatan Udara Revolusioner di Manado, Gorontalo, Morotai, Jailolo, dan Halmahera. Mereka menghancurkan pesawat-pesawat Angkatan Udara Revolusioner, termasuk kota pelabuhan di Pulau Ambon, dan merebut lapangan-lapangan udara.
Gempuran balasan ini membuyarkan impian Permesta untuk merebut Jakarta. Bahkan, pada pertengahan Juni 1958, kekuatan Angkatan Udara Revolusioner sudah berkurang separuh. Menjelang akhir Juni 1958, Permesta kian terdesak. Warouw, wakil perdana menteri pemerintah revolusioner, memerintahkan agar Kota Manado dikosongkan. 28 Juni 1958, Manado dikuasai pemerintah pusat. Warouw dan pasukannya mundur ke perbatasan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, dan melakukan perang gerilya berkepanjangan.
Tersudutnya Sulawesi, juga Sumatera, membuat Amerika Serikat mengubah haluan politiknya terhadap Indonesia. Mereka berpikir untuk sebaiknya merangkul pemerintah pusat ketimbang melawannya. Mereka melihat Soekarno adalah sumbu politik Indonesia yang harus didekati, bukan lagi untuk dilenyapkan.
Kemudian, Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan Nasution, juga petinggi-petinggi Angkatan Darat Republik Indonesia. Angkatan Darat meyakinkan Amerika Serikat bahwa Indonesia tidak akan jatuh pada komunisme. Pengalaman Angkatan Darat dalam menumpas gerakan komunis di Madiun pada 1948 menjadi faktor.
“Di Markas Besar Angkatan Darat,” tulis Audrey R. Kahin mengutip pernyataan perwira Andi Jusuf kepada Asisten Atase Militer Amerika Serikat, “mereka menyebut para pemimpin operasi sebagai ‘putra-putra Eisenhower’. Jani (komandan operasi di Sumatera), Rukmito, Huhnholz (pemimpin operasi di Morotai), dan saya sendiri, kami semua dilatih di Amerika Serikat”.
Amerika Serikat juga mulai berpandangan bahwa jika memberikan bantuan kepada pemerintah pusat, maka pemerintah pusat akan berterimakasih dan kemudian menghindarkan diri dari jatuhnya negara pada komunisme. Dan bantuan Amerika Serikat pun mulai membanjiri pemerintah pusat teruntuk Angkatan Darat Republik Indonesia, Angkatan Laut Republik Indonesia, dan Angkatan Udara Republik Indonesia. Sebut saja 20 buah pesawat F-51. Limpahan dari Amerika Serikat lambat laun melebihi limpahan (keringanan membeli) senjata dari Blok Soviet. Konsekuensinya, pemerintah pusat kemudian hanya membeli dari negara-negara Barat.
Sementara itu, jumlah bantuan untuk pemerintah revolusioner mulai menyurut perlahan-lahan. Bahkan, Amerika Serikat dan sekutunya mulai menarik personilnya dari Manado.
Selanjutnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Tindakan ini diapresiasi oleh Amerika Serikat. Sebab, dengan dekrit yang berisi pembubaran parlemen dan mematahkan pemerintahan parlementer itu, berarti memupus jalan bagi Partai Komunis Indonesia, yang kian membesar kala itu, untuk meraih kekuasaan melalui jalur parlemen.
Meski dukungan Amerika Serikat sudah berkurang, yang pada kenyataannya dirasakan beberapa waktu kemudian, perang gerilya di Sumatera dan Sulawesi masih terus berlangsung. Dan demi melihat begitu agresifnya pemerintah pusat, pemerintah revolusioner meningkatkan emosi perlawanan dengan meyakini Soekarno tak lagi bisa diajak berunding atau berubah.
Melalui Natsir dan Sjafruddin, pemerintah revolusioner mendirikan Republik Persatuan Indonesia yang berbentuk federasi. Pendirian republik baru ini dilakukan setelah melakukan serangkaian dialog pada pertengahan 1959 dengan kelompok Darul Islam, yakni pada Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.
Di dalam Republik Persatuan Indonesia, ada sepuluh negara bagian yang masing-masing bersifat otonom dan dapat memilih pemerintahannya sendiri sesuai budaya dan keinginan rakyatnya. Adapun pemerintah federal memiliki peranan terbatas, yakni terutama pada hubungan luar negeri, pertahanan, dan perhubungan.
Akan tetapi, gagasan Republik Persatuan Indonesia ini memperoleh tentangan banyak pihak di kalangan pemerintah revolusioner. Salah satunya adalah Zulkifli Lubis. Menurut Lubis, tak mungkin dapat bekerjasama dengan Darul Islam karena adanya perbedaan ideologi. Bekerjasama dengan Darul Islam tak lebih dikarenakan pertimbangan taktis saja.
“Kami mempunyai musuh yang sama; ini bukan suatu tindakan strategis karena gagasan-gagasan kami berbeda,” kata Zulkifli Lubis pada 1991 saat diwawancarai Audrey R. Kahin.
Alih-alih menyatukan, keberadaan Republik Persatuan Indonesia justru menjadi salah satu faktor ambruknya gerakan perlawanan secara keseluruhan. Perbedaan pendapat di kalangan kelompok perlawanan menjadi tajam, dan itu membuat mereka melemah. Perbedaan pandangan itu terjadi di saat pasukan pemerintah pusat kian agresif.
Sementara itu, di Sulawesi, terjadi kekacauan antara pasukan satu dengan pasukan lain. Tidak ada konsep persatuan apapun di antara gerakan perlawanan yang dapat menjadikan mereka menjadi satu barisan. Satu sama lain seringkali baku hantam. Bahkan, tewasnya Warouw pada 15 Oktober 1960 bukan dikarenakan serangan pasukan pemerintah pusat, tetapi oleh pasukan-pasukan lain di Sulawesi.
Karena terus terdesak, pada Maret hingga April 1961, Kawilarang, seorang petinggi Permesta yang sebelumnya dikenal karena memenangkan pertempuran melawan Belanda saat memimpin tentara Republik Indonesia di Tapanuli, Sumatera Utara, menyerah bersama 36 ribu pasukan kepada Nasution. Terakhir adalah Sumual, yang menyerah pada 15 Oktober 1961.
Menyerahnya Sulawesi mengagetkan Sumatera. Moral melemah. Dan berangsur-angsur, pada Juni hingga Agustus 1961, Husein, Zulkifli Lubis, dan para komandan militer beserta pasukannya di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan, menyerah. Begitu juga Sjafrudin dan Burhanuddin. Sumatera Barat adalah kawasan terakhir yang menyerah di Sumatera.
Meski demikian, masih ada yang tak mau menyerah. Mereka adalah Natsir, Djambek, dan beberapa orang lain di Sumatera Barat yang sangat sadar mereka begitu dimusuhi oleh orang-orang komunis. Dan Djambek akhirnya dibunuh dalam penyergapan yang dilakukan organisasi pemuda sayap Partai Komunis Indonesia. Adapun Natsir menyerah pada 25 September 1961 dan dipenjarakan oleh Soekarno sampai sang presiden tumbang pada 1966.
Indonesia Kini
Ulama Sumatera Barat Buya Mas’oed Abidin melihat keadaan Indonesia sebetulnya tak berbeda jauh dengan masa 1950-an. Harga-harga masih mahal dan masih ada kawasan yang begitu makmur namun di saat yang sama ada begitu banyak kawasan lain yang amat terpuruk.
Meski demikian, ada beberapa hal yang dahulu diperjuangan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia kini sudah menjadi kenyataan. Sebut saja pembubaran Partai Komunis Indonesia, otonomi daerah berupa pemilihan umum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dan pembentukan senat. Senat, yang berarti wakil negara-negara, kini dinamai Dewan Perwakilan Daerah.
“Perimbangan itu sudah terjadi tapi belum maksimal. Contohnya, kesempatan anak-anak daerah untuk maju lebih susah. Tingkat pendidikan di daerah dengan pusat juga berbeda. Kesenjangan-kesenjangan ini akan menjadikan perasaan tidak puas bagi masyarakat itu sendiri,” ujar Buya di Padang, Senin (14/2), kepada LenteraTimur.com.
Buya menambahkan bahwa sebetulnya tugas pemerintah itu hanya dua. Pertama, membuat rakyatnya tenteram, aman, dan nyaman; dan kedua, membuat masyarakatnya sejahtera dan berkeadilan.
“Apakah kesejahteraan itu sudah adil? Itu jawabnya ada di pemerintah,” ungkap Buya.
Regulasi desentralisasi ini pada kenyataannya belum memunculkan pertumbuhan ekonomi baru di daerah-daerah. Jakarta, ibukota negara, masih terus melesat dan tak terkejar oleh daerah-daerah lain. Jakarta membuat jalan tol secara terus menerus dan menggelimangi dirinya dengan sekian banyak proyek. Pada saat yang sama, di Entikong, Kalimantan Barat, orang beramai-ramai pindah warganegara akibat kesejahteraan ekonomi yang merosot.
Di Jawa, melalui campur tangan Jakarta, dibuatlah jembatan besar yang menghubungkan Surabaya dan Madura di Jawa Timur. Bahkan, ada juga rencana membangun jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera pada 2013, yakni antara Merak, Banten, dengan Bakauheni, Lampung. Padahal, pada saat yang sama, sudah menahun transportasi masyarakat di Kalimantan atau Sulawesi kedodoran dan terjerembab. Di Maumere, Nusa Tenggara Timur, misalnya, angkutan kota yang melaluinya pun hanya satu buah per hari. Atau untuk mencapai Banda, Maluku, orang akan sulit sekali karena pesawat hanya ada dua kali seminggu dan kapal feri dua minggu sekali.
Ketidakadilan serupa terasa saat rapat kerja antara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Dewan Perwakilan Daerah, PT. Perkebunan Negara, Ketua Kamar Dagang Indonesia, dan pihak lainnya saat membahas bagi hasil perkebunan antara provinsi dengan pemerintah pusat.
Seperti dilaporkan situs berita asal Medan, Sumatera Utara, starberita.com pada 16 September 2010, perkebunan yang luasnya sekitar satu hektar menghasilkan minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 1,696 juta ton, atau senilai Rp. 10,7 triliun. Dari hasil tersebut, pemerintah provinsi hanya mendapat kurang lebih Rp. 1 triliun, sedangkan sisanya dibawa ke pusat.
Untuk itu, rapat yang melibatkan banyak pihak itu meminta agar Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah direvisi.
Dalam undang-undang perimbangan keuangan tersebut, perkebunan memang tidak masuk dalam kategori sumber daya alam. Yang disebut bagi hasil dari sumber daya alam, sebagaimana dalam pasal 11 ayat 3, adalah kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
Sementara itu, komposisi pembagian kue ekonomi dalam sektor-sektor sumber daya alam itu ditetapkan variatif.
Sektor Penerimaan Pusat Daerah
Kehutanan (Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan Provisi Sumber Daya Hutan) 20 % 80%
Kehutanan (Dana Reboisasi) 60% 40%
Pertambangan Umum 20% 80%
Perikanan (Nasional) 20% 80% seluruh kabupaten/kota
Pertambangan Minyak Bumi (setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya) 84,5% 15,5%
Pertambangan Gas Bumi (setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya) 69,5% 30,5%
Pertambangan Panas Bumi (Penerimaan Negara Bukan Pajak) 20% 80%
Sumber: Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pasal 14.
Skema Klasik
Sementara itu, pada Januari 2011, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gita Wirjawan, membuat skema investasi – skema yang bukan hal baru – di Indonesia berdasarkan dua kategori: Jawa dan Luar Jawa. Pada 2010, alokasi investasi di Luar Jawa adalah 38 persen dan Jawa 62 persen dari total investasi sekitar Rp. 200 trilyun. Kondisi 2010 disebutkan lebih baik ketimbang 2009, dimana Luar Jawa mendapat porsi 13,57 persen dan Jawa memperoleh 86,43 persen.
Selanjutnya Gita optimis bahwa penanaman modal, yang tak lagi membedakan dalam negeri dan asing, di Indonesia akan lebih besar. Untuk 2011, pihaknya berencana menggenjot investasi di Luar Jawa dengan porsi antara 30-40 persen dari total target realisasi investasi sebesar Rp. 230 trilyun.
Skema modal di Indonesia memang sudah lama mengenal dualisme. Di kawasan yang luasnya nyaris sama antara Inggris hingga Turki ini, skemanya disederhanakan dengan pelabelan Jawa dan Luar Jawa. Hal yang sama tak hanya terjadi di bidang ekonomi. Dalam politik atau kebudayaan, termasuk kala pemilihan presiden, orang diakrabkan dengan istilah Jawa dan Luar Jawa.
Skema ini bukan datang  begitu saja. Jika hendak menengok ke negeri lain, Eropa, ia seperti pengejawantahan atas konsep liyan atau “yang lain” (the other). Konsep liyan ini bermuatan substantif filosofis yang cukup kompleks dan memiliki konteksnya masing-masing dalam diskursus pemikiran kontemporer. Ia muncul sebagai perlawanan atas pemikiran “yang sama” (the same) atau penyeragaman, yang sempat menyelimuti proyek modernitas di masyarakat Barat. Konsep ini berimplikasi pada suatu tindakan perangkuman yang lain ke dalam kriteria-kriteria yang diciptakan subjek.
Konsekuensi dari hadirnya konsep liyan ini adalah adanya pengakuan atas keberadaan yang lain. Dengan pengakuan itu, maka suara-suara liyan berhak untuk didengar. Dalam konteks Indonesia, liyan, yang merujuk pada entitas Luar Jawa, dianggap sebagai suatu tindakan penyederhanaan.
Negara Indonesia adalah suatu entitas dengan kompleksitas tinggi. Ia berpenduduk lebih dari 137 juta orang yang berasal dari ratusan etnis dan bahasa, yang berarti terdiri dari ratusan cara pandang dan kebudayaan. Ia tersebar di lebih 17 ribu lebih pulau dengan luas sekitar tiga juta kilometer persegi (www.indonesia.go.id).
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363 orang. Dari jumlah ini, 58 persen atau hampir 138 juta orang berada di Pulau Jawa; 21 persen atau hampir 50 juta orang di Pulau Sumatera; 7 persen atau hampir 17 juta orang di Pulau Sulawesi, 6 persen atau hampir 15 juta orang di Pulau Kalimantan; 6 persen atau hampir 15 juta orang di Pulau Bali dan Nusa Tenggara; dan 3 persen atau sekitar 7 juta orang di Pulau Papua dan Maluku. Adapun provinsi yang terpadat penduduknya adalah ibukota negara, Jakarta, yang berada di Pulau Jawa.
Kepadatan penduduk di pulau-pulau ini berbanding terbalik dengan luas wilayahnya. Jawa, yang memiliki penduduk terbanyak, luasnya sekitar 138 ribu kilometer persegi; Sumatera sekitar 474 ribu kilometer persegi; Sulawesi hampir 190 ribu kilometer persegi; Kalimantan hampir 540 ribu kilometer persegi; dan Papua hampir 422 ribu kilometer persegi.
Berdasarkan anatomi ini, komposisi Jawa dan Luar Jawa didasarkan pada pemikiran besaran jumlah penduduk. Padahal, pada saat yang sama, pulau yang sedikit penduduknya memiliki karakter dan kekayaan sumber daya alam yang  berbeda-beda. Penduduk setempat, secara tradisional, adalah pemilik dari tanah-tanah di kawasannya, yang biasanya melekat dengan kosmologi spiritual-kebudayaannya.
Menyebut Jawa dan Luar Jawa pada gilirannya merupakan tindakan penyamaan persoalan. Pelabelan itu mengindikasikan bahwa Jawa adalah sama, tunggal, dan Luar Jawa juga menjadi satu entitas tunggal, yang menjadi objek dari Jawa. Di dalam apa yang disebut Jawa dan Luar Jawa, ia sebetulnya terdiri dari beragam karakter, kepentingan, kebudayaan, dan sumber-sumber daya alam yang berbeda-beda.
“Di sana terdapat penunggalan imajinasi tentang “Jawa” dan “Kejawaan”, juga “Luar Jawa” dan “Keluarjawaan”. Karena Jawa yang direproduksi di sana, biasanya adalah Jawa Yogya atau Solo (Jawa Tengah-red), Jawa adiluhung. Tak termasuk orang Madura (Jawa Timur-red), Banten, atau Betawi (Jakarta). Sedangkan Luar Jawa, tentu hasil penunggalannya jauh lebih dahsyat, karena entitas-entitasnya jauh lebih majemuk,” ujar esais Muhammad Al-Fayyadl kepada LenteraTimur.com, Sabtu (12/2), di Jakarta.
Fayyadl menambahkan bahwa pengkategorian Jawa dan Luar Jawa sudah terjadi sejak era kolonial. Jawa dipandang sebagai pusat segala sesuatu. Dan dikotomi ini kemudian diamini sendiri oleh orang Jawa.
Senada dengan Fayyadl, Soffa Ihsan, penulis buku-buku tentang marjinalitas, memaparkan bahwa yang dimaksud Jawa bukanlah Jawa seutuhnya. Hanya saja, ia menukikkan skema Jawa itu pada pusat kekuasaan yang berada di Pulau Jawa, yakni Jakarta. Artinya, Jakarta menggunakan Jawa sebagai selubung atau komoditas politik dari dirinya sendiri.
“Menurutku, penyebutan Jawa jangan semata dalam artian “etnik”, tapi merupakan “pusat kekuasaan” yang ada di Jawa, yakni Jakarta. Maksudnya, pusat kekuasaan yang dimainkan dan dikendalikan oleh penguasa Jawa yang utamanya berawal dari Soeharto. Di sini, perlu ada pemilahan yang tajam antara pusat kekuasaan politik Jawa di satu pihak dengan peradaban Jawa di pihak lain”, jelas Soffa kepada LenteraTimur.com, Sabtu (12/2), di Jakarta.
Lebih lanjut Soffa mengemukakan bahwa dikotomi Jawa dan Luar Jawa sebaiknya tidak lagi digunakan. Sebab, seperti pemikiran Fayyadl, tidak mungkin ada penyamaan di dalam istilah Jawa dan Luar Jawa. Di dalamnya ada perbedaan-perbedaan signifikan yang harus diakui eksistensinya.
“Saya kira, kita jangan lagi terjebak ke penyebutan “Jawa-Luar Jawa”. Anggap itu sebagai warisan masa lalu yang sifatnya lebih politis. Bahkan, kalau kita melihat, sebenarnya justru wilayah-wilayah “luar Jawa” tampak sekali adanya kemandirian atau otonomi. Beda dengan di Jawa yang terkesan masih kuatnya ketergantungan. Dan ini karena Jawa masih kuat primordialismenya. Beda dengan “Luar Jawa” lebih egaliter dan terbuka,” papar Soffa.

repost from: http://www.lenteratimur.com/jakarta-vs-sumatera-sulawesi-53-tahun-lampau/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar