Sebelum bernama Indonesia, orang-orang Eropa telah memiliki beragam sebutan tunggal untuk mengidentifikasi banyak kawasan macam Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Maluku (juga Papua dengan banyak perdebatan). Ada yang menamakannya dengan ‘The Indies’, ‘The East Indies’, ‘The Indies Possesions’, ‘Insulinde’ (the islands of the Indies), atau ‘Tropisch Netherland’ (the tropical Netherland), atau ‘The Netherland (East) Indies’.
Selain nama-nama tersebut, tersebar pula nama-nama lain untuk kepulauan ini, yang umumnya digunakan oleh mereka yang bukan berasal dari Belanda, seperti ‘Oceanie’, ‘Oceania’, dan ‘Malasia’ (Perancis), ‘the Eastern Seas’, ‘the Eastern Island’, dan ‘the Indian Archipelago’. Ada juga bangsa-bangsa selain Eropa yang memberikan macam-macam nama, namun itu tak merujuk sebagaimana di benak Eropa terhadap bentang daerah yang relatif sama.
Pada pertengahan abad 19, lahir sebuah jurnal yang berkonsentrasi untuk mendedah jejak dinamika kehidupan di kawasan yang kini bernama Indonesia. The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, demikian nama jurnal tersebut. Lahir pada 1847 dan berkedudukan di Singapura, jurnal ini digawangi oleh editor James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia.
Dalam volume pertamanya, Logan menyatakan bahwa artikel-artikel di jurnal ini akan terdiri atas hal-hal yang berhubungan dengan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Philipina, Maluku, Bali, Semenanjung Melayu, Siam, dan, dia berharap, China.
Jurnal yang berisi diskursus mengenai kepulauan ini mencoba untuk menampung kegairahan para ilmuwan Eropa atas segala yang baru mereka temukan seraya mencoba mencari keterkaitan satu sama lain.
“So obvious is this connection that it has been a constant source of excitement to the imagination, which, in the traditions of the native, and in the hypotheses of Europeans, has sought its origin in an earlier geographical unity…, we should see shallow seas dried up, the mountain ranges of Sumatera, Borneo, and Java become continental like those of the Peninsula, and great rivers flowing not only in the Straits of Malacca, whose current early navigators mistook for that of an inland stream, but through the wide valley of the China Sea, and by the deep and narrow Strait of Sunda, into the Indian Ocean. Thus the unity would become geographical, which is now only geological” (The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, Vol. 1, 1847).
(Sangat jelas, semua keterkaitan ini telah menjadi sumber kegairahan imajinasi, yang dalam tradisi pribumi, dan dalam hipotesis Eropa, telah lama mencari bentuk asli akan persatuan geografis terdahulu…. Kita lihat laut mengering, pegunungan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa menjadi daratan seperti semenanjung, dan sungai-sungai besar tidak hanya mengikuti Selat Malaka, yang dikira oleh para pemandu terdahulu sebagai pedalaman, tapi juga melalui lembah luas Laut China, dan oleh kedalaman dan celah sempit Selat Sunda, memasuki Samudera India. Dengan demikian, persatuan akan menjadi lebih bersifat geografis, sementara kini hanya bersifat geologis.)
Sebagaimana Logan dan penulis-penulis lain, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), seorang Inggris, juga turut melakukan pengamatan di kawasan ‘Indian Archipelago’ (Kepulauan India) ini. Ia mencatat bahwa orang-orang di kepulauan ini bukanlah orang-orang yang tak berkemampuan dalam melakukan pengembaraan dan navigasi. Hanya saja, Earl mengatakan bahwa ada perubahan yang terjadi di kebanyakan masyarakat ‘Indian Archipelago’ ketika itu, yakni dari yang berkarakter maritim menjadi agraris.
Akan tetapi, Earl tak hanya mencatat. Dari bacaannya selama bertualang, ia lalu melakukan kritik atas penamaan ‘Indian Archipelago’ terhadap kawasan kepulauan ini. Baginya, praktik penulisan dan diskusi etnologi akan selalu mengalami masalah, pun saat karya tersebut dibaca, akibat ketidaktajaman konsep penamaan dalam mengidentifikasi kawasan penduduk asli.
“The term “Indian Archipelago” by which our group of island is now generally known, cannot supply a concise and appropriate term for the native inhabitants. The Greek Archipelago is inhabited by Greeks, and they are called so, but it would be very inappropriate to call native of the Indian Archipelago Indians,” tulis Earl melalui artikel ‘On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian, and Malayu-Polynesian Nations’ dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, Vol. 4, 1850).
(Istilah ”Indian Archipelago” yang kita kelompokkan dan kini sudah dikenal, tidak bisa menyediakan sebuah istilah ringkas dan tepat untuk menyebut penduduk asli. Kepulauan Yunani dihuni oleh Yunani, dan demikianlah mereka disebut. Tetapi, akan sangat tidak pantas untuk menyebut penduduk asli Indian Archipelago dengan nama Indian.)
Earl menganjurkan agar penamaan dilakukan atas dasar istilah yang dekat atau mewakili ‘suku-suku asli dari Indian Archipelago’, dan tidak bersifat umum macam ‘Indian Archipelago’. Selain terlalu umum, istilah tersebut juga dapat digunakan di Ceylonese, penduduk asli di Maladewa, dan Laccadives.
Untuk menguatkan argumentasinya, Earl mengambil contoh dari Perancis, yang terkenal akan karya-karyanya dalam etnologi, dan telah mengadopsi istilah ‘Oceanie’, ‘Oceania’, dan ‘Malayan’ untuk menandai apa yang disebut ‘Indian Archipelago’. Dan penamaan itu taklah bersifat umum.
Tak hanya Perancis. Earl juga merujukkan argumentasinya pada seorang etnolog Inggris, Dr. James Cowles Prichard (1786-1848), penulis Physical History of Mankind. Prichard jauh-jauh hari sudah menggunakan istilah ‘Malasian’ ketika membicarakan ras coklat-langsat di ‘Indian Archipelago’. Sejurus itu, Earl kembali menggunakan pengertian Yunani untuk menyebut ‘kepulauan’.
“… the time has arrived when a distinctive nam for the brown races of the Indian Archipelago is urgently required, and it should be made to accord as closely as possible with the terms by wich that portion of the world is most generally known, namely ‘Indian Archipelago’ or ‘Malayan Archipelago’. By adopting the Greek word for ‘island’ as a terminal, for which we have a precedent in the term “Polynesia”, the inhabitants of the ‘Indian Archipelago’ or ‘Malayan Archipelago’ would become respectively Indu-nesians or Malayunesians. I have chosen the latter…. Their language, too, is spoken at every sea-port, with the exeption of those of the Northern Phillipines,” tulis Earl.
(… telah tiba waktu ketika nama yang khusus untuk ras kulit cokelat dari Indian Archipelago menjadi amat dibutuhkan. Dan penamaan itu mesti sedekat mungkin dengan istilah yang telah diketahui di seluruh dunia, yakni ‘Indian Archipelago’ atau ‘Malayan Archipelago’. Dengan mengadopsi kata Yunani untuk ‘pulau’ sebagai batasan, yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam istilah ‘Polinesia’, penduduk dari ‘Indian Archipelago’ atau ‘Malayan Archipelago’ akan dikenal menjadi Indu-nesians atau Malayunesians. Saya telah memilih yang terakhir…. Bahasa mereka juga diucapkan di setiap pelabuhan, kecuali oleh orang-orang dari Filipina Utara.)
Kritik yang dilontarkan oleh Earl, yang bagaimanapun menghunjam nama jurnal itu sendiri, dijawab langsung oleh Logan di jurnal dan edisi yang sama, yakni di volume 4 (1850). Logan menulis artikel ‘The Ethnology of the Indian Archipelago, embracing enquiries into the Continental relations of the Indo-Pasific Islanders’.
Logan merasa bahwa nama Indian Archipelago memang terlalu panjang. Dan pada saat yang sama, meski tetap bertahan dengan ‘Indian Archipelago’ karena sudah akrab di telinga Eropa, ia tertarik dengan gagasan ‘Indu-nesian’ dari Earl, yang sudah menyelipkan pengertian Yunani pada pengertian ‘pulau’. Karena itu, ia mengubah nama ‘Indu-nesians’ dari Earl menjadi ‘Indonesia’, yang tak lain merupakan pemendekan dari ‘Indian Archipelago’.
“The name Indian Archipelago is too long to admit of being used in an adjective or in an ethnographical form. Mr Earl suggest the ethnographical term Indu-nesians but reject it in favour of Malayunesians. For reasons which will be obvious on reading a subsequent note, I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islander,” tulis Logan.
(Nama Indian Archipelago terlalu panjang untuk dapat digunakan dalam sebuah kata sifat atau dalam suatu bentuk etnografi. Pak Earl menyarankan istilah etnografi Indu-nesians, dan menolaknya untuk lebih mendukung istilah Malayunesians. Dengan alasannya yang akan saya susulkan, saya lebih senang dengan istilah geografis yang murni ‘Indonesia’, yang merupakan sinonim lebih pendek untuk ‘Indian Islands’ atau ‘Indian Archipelago’. Dengan demikian, kita mendapatkan ‘Indonesian’ untuk ‘Indian Archipelagian atau Archipelagic’, dan Indonesians untuk ‘Indian Archipelagians’ atau ‘India Islanders’.)
Pandangan Logan ini membuat dirinya menjadi yang pertama kali menggunakan nama ‘Indonesia’ untuk menjelaskan geografi kepulauan tersebut. Ketika itu, ‘Indonesia’ yang ia jelaskan terbentang dari Sumatera hingga Formosa (Taiwan).
Akan tetapi, penggunaan istilah Melayu untuk merujuk pada kawasan kepulauan ini bermunculan. Alfred Russel Wallace (1823-1913), seorang Inggris yang melakukan perjalanan keliling kepulauan ini, mungkin adalah yang utama. Pada 1869, ia menuliskan buku The Malay Archipelago hasil dari penelitiannya di kawasan yang disebut ‘Indian Archipelago’. Charles Darwin, penulis buku legendaris The Origin of The Species (1859), yang dekat dengan Wallace, pun turut menggunakan nama tersebut untuk merujuk kawasan yang sama.
Sementara, penggunaan nama Indonesia ini kelak juga diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan Eropa lain. Sebut saja etnograf Jerman Adolf Bastian yang pada 1884 menerbitkan buku berjudul Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipels (Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu).
Di sini, penggunaan istilah Melayu (Malay, Malayu, Malayan) beradu dengan istilah Indo (Indian, Hindia, Indies).
Selanjutnya, nama Indonesia, dengan batas geografi yang kelak berubah-ubah, digunakan oleh para penghuni kepulauan ini sendiri untuk dijadikan nama negara, hingga sekarang.
***
Pemberian identitas berupa nama-nama oleh orang-orang Eropa untuk kepulauan ini menarik untuk disimak kembali. Di masa-masa itu, negeri-negeri Eropa memang bertualang ke seluruh dunia. Beberapa sampai di kepulauan yang memiliki banyak sekali negeri dan identitas ini, untuk kemudian bertarung, atau bersekutu, dengan salah satunya.Arkeolog Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Agus Arismunandar, menjelaskan bahwa penamaan yang dilakukan oleh orang asing dapat terjadi karena sebelum itu memang tidak ada konsep persatuan di antara negeri-negeri yang ada di kepulauan tersebut.
“Satu-satunya konsep kesatuan yang kongkret adalah saat Hindia Belanda. Sebelum itu tidak ada…. Yang ada adalah Jawa, Celebes, Sumatera, dan seterusnya. Jadi belum ada,” kata Agus dalam dokumentasi wawancara pada 2010 di Jakarta.
Lebih lanjut, Agus menjelaskan perihal peneliti-peneliti asing yang menyebutkan kepulauan ini sebagai Kepulauan Melayu.
“Peneliti-peneliti asing itu mengatakan ada suatu ras khusus yang berwarna cokelat yang tinggal di Asia Tenggara. Siapa mereka? Ya orang-orang Melayu,” ucap Agus.
Selain dari Eropa, konsepsi persatuan, dengan perspektif dan gaya berbeda, pernah muncul dari salah satu negeri yang ada di dalam kepulauan, yakni Majapahit yang berada di salah satu bagian Pulau Jawa, dengan nama ‘Nusantara.’ Nusantara, menurut Agus, biasanya dipahami sebagai ‘pulau antara’. Artinya, pulau-pulau lain.
“Jika Majapahit ada di Jawa, maka nusantara adalah pulau-pulau lain di luar Majapahit. Maka disebutlah bagian-bagian nusantara waktu itu, pulau-pulau lain waktu itu, yang dalam tanda petik menjadi bakal bagian dari kuasa Majapahit. Dari Sumatera apa saja, dari tepi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur apa saja, Sulawesi apa saja. Itulah nusantara,” ujar Agus.
Dalam pengertian macam itu, tak heran jika situs www.kerajaannusantara.com lantas merujukkannya pada keseluruhan wilayah dan bangsa-bangsa atau negara-negara di dunia.
“Kerajaan/kesultanan di seluruh dunia tersebut dapat dikatakan sebagai kerajaan nusantara. Hal ini berpijak pada batas geografis di mana seluruh daratan (pulau) yang dipisahkan oleh laut termasuk dalam pengertian nusantara, sehingga kerajaan nusantara mempunyai arti yang sama dengan kerajaan dunia,” tulis situs yang berkedudukan di Yogyakarta itu.
Akan tetapi, meski nusantara disebut sebagai konsep persatuan kepulauan, atau seluruh dunia, ia malah tak dikenal dan asing di banyak negeri di kepulauan ini.
“Setahu saya, kata ‘nusantara’ tidak pernah saya temukan dalam literatur Bugis-Makassar,” ujar Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Mukhlis Paeni, yang berasal dari Sulawesi Selatan, Kamis (14/4).
Hal serupa juga diungkapkan oleh tokoh masyarakat adat Ternate, Rinto Taib. Menurut Rinto, Ternate tidak mengenal nusantara. Istilah Indonesia, katanya, lebih memiliki makna filosofis dan kultural yang lekat.
Sebagaimana Rinto, tokoh pemuda Aceh, Teuku Zulfahmi, pun berucap sama.
“Tidak. Kami tak kenal ‘nusantara’. (Istilah) ‘antara’ kalau di Aceh (berarti) awang-awang,” tukas Zulfahmi.
***
Setelah terbebaskan dari praktik koloni mengkoloni, banyak nama-nama yang diberikan oleh orang Eropa langsung diganti. Sebut saja Ceylonese menjadi Sri Lanka, Indo-China menjadi Vietnam, atau Gold Coast menjadi Ghana. Meski, ada juga yang tak mengalami perubahan, macam Filipina (Philipina), yang berasal dari nama Raja Spanyol, Philip.Akan tetapi, upaya penggantian nama secara sepihak masih tetap berlangsung. Belanda, misalnya, telah mengganti buku Alfred Russel Wallace, The Malay Archipelago menjadi Insulinde: het land van den orang-oetan en den paradijsvogel. Tapi tak hanya Belanda. Dua penerbit di Pulau Jawa pun mengganti judul buku Wallace itu dengan Kepulauan Nusantara.
Bahkan, Hari Deklarasi Djuanda, yang menegaskan batas laut Indonesia pada 1957 melalui nama perdana menteri kala itu, pun turut diganti. Melalui Keputusan Presiden Nomor 126 Tahun 2001, zaman Presiden Megawati, Hari Deklarasi Djuanda itu diubah menjadi Hari Nusantara. Praktik pelabelan juga dilakukan oleh Indonesia, zaman Sukarno, pada kawasan Papua, yang berpenghuni dan berbudaya itu, dengan nama Irian. Irian disebut-sebut merupakan pemendekan dari ‘Ikut Republik Indonesia Anti Netherland’. Tapi, akhirnya nama ini dikembalikan lagi ke Papua oleh Presiden Abdurahman Wahid, yang juga tokoh Nahdatul Ulama.
Meski banyak yang mengganti identitas suatu pihak, namun watak macam itu tak bisa digeneralisir. Pada contoh buku Wallace, yang bisa jadi juga karena terinspirasi dari etnolog-etnolog Perancis, Prichard, atau Earl, banyak orang yang menuliskan kajian sebagaimana adanya tanpa pretensi. Sebut saja pada 2007 di Inggris, yang menerbitkan buku To the Island White Australians and the Malay Archipelago since 1788 karya Paul Battersby; atau pada 2008 di Amerika Serikat, dimana terbit buku bunga rampai berjudul Biodiversity and Human Livelihoods in Protected Areas: Case Studies from the Malay Archipelago (yang membahas Indonesia pun Malaysia); atau tulisan-tulisan yang beristilahkan ‘Indonesia’ tanpa mencoba menggantinya dengan yang lain.
Macam-macam pandangan ini dapat menjadi refleksi atas perspektif-perspektif yang ada dan kemudian berkembang dengan segala macam maksud atau motif. Ada yang merasa sudah mendunia, tapi sesungguhnya ia taklah dikenal, ada yang tak lagi dikenal dan dibenam meski ia sudah menjadi alat identifikasi dunia atas suatu identitas, atau ada yang mencoba terus menerus memberi label-label asing atas sesuatu yang sesungguhnya sudah beridentitas.
repost from: http://www.lenteratimur.com/menapaki-nama-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar