Senin, 11 Juli 2011
Kun Fayakun, Jadilah Indonesia
Berbedanya cara pandang terhadap Indonesia muncul dalam dialog “Identitas Kebangsaan Indonesia”, Kamis (30/6), yang diselenggarakan oleh stasiun TVRI, Jakarta. Dalam dialog tersebut, hadir sebagai pembicara adalah sejarawan asal Sumatera Barat Taufik Abdullah dan Gusti Asnan, serta sejarawan pemerhati Sumatera-Indonesia asal Selandia Baru Anthony Reid dan pemerhati politik asal Aceh Fachri Ali.
Salah satu hal yang dibahas dalam dialog tersebut adalah identitas Minang yang berada di dalam ruang Indonesia. Identitas Minang, menurut Gusti Asnan yang juga guru besar sejarah di Universitas Andalas, Sumatera Barat, mengalami persoalan pelik di dalam keindonesiaan. Persoalan identitas yang didera oleh orang Minang tersebut tak lepas dari peristiwa perang saudara yang terjadi pada masa silam.
Pada 1950-an, pemerintah pusat di Jakarta mendapat protes keras atas berbagai ketimpangan dan penghisapan yang melanda seluruh daerah di Indonesia. Protes yang bermula dari ketidakadilan ekonomi dan politik itu kemudian mewujud pada perang bersenjata antara Sumatera, yang membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dengan pemerintah pusat di Jakarta. Saat perang yang terjadi pada 1958 takat 1961 itulah Sumatera Barat menempati posisi sebagai motor perlawanan.
Perang ini berujung pada kekalahan Sumatera, juga Sulawesi melalui Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Setelah itu, narasi dipegang oleh sang pemenang. Dan orang Minang lantas mendapat stigma sebagai pemberontak oleh Jakarta. Stigma itu berdampak serius pada identitas Minang.
“Memang parah sekali (dampak labelisasi pemberontak itu). Bahkan orang Minang itu merasa malu menjadi orang Minang. Bahkan orang Minang meninggalkan identitas nama-nama Minang di masa lampau. Orang Minang sampai mengganti namanya seperti kejawa-jawaan,” ujar Gusti, yang mengaku bahwa nama dirinya merupakan nama Bali.
Menurut Gusti, di antara faktor utama yang menggoyang identitas Minang adalah adanya pemerintahan militer di masa lampau. Saat itu, terjadi penyesuaian demi penyesuaian yang luar biasa di Minangkabau. Di tengah kegamangan akibat kalah perang, pusat lantas menawarkan umpan kepada Sumatera Barat untuk ikut bergabung.
“Daripada larut dengan kegagalan di masa lampau, mereka (orang Minang) menyesuaikan diri dengan apa yang diinginkan oleh pusat. Ketika Orde Baru dengan Golkar-nya berkuasa, orang Minang termasuk salah satu daerah dimana Golkar menang sukses yang luar biasa,” tambah Gusti.
Terkait dengan labelisasi pemberontak yang terkait pada perang masa silam, Taufik Abdullah kemudian menanyakan siapa yang memberontak terlebih dahulu.
“Siapa yang memberontak siapa? Kapan pemberontakan itu terjadi? Kalau dari sudut hukum, tentu saja ketika pelanggaran konstitusi terjadi, itu sudah pemberontakan,” kata Taufik.
Taufik lalu merujuk pada Liga Demokrasi di masa lalu yang berisikan banyak partai, di antaranya Partai Masyumi, Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Katolik. Liga Demokrasi menyebutkan bahwa Presiden Sukarno-lah yang melanggar konstitusi. Salah satunya adalah ketika Sukarno mengangkat dirinya sebagai formatur kabinet. Padahal, presiden kala itu hanya kepala negara, bukan kepala pemerintahan.
Persoalan pemberontakan juga tidak hanya disebabkan tindakan Sukarno itu. Adanya ketidakadilan yang merebak di seluruh daerah di Indonesia selain Jakarta di Pulau Jawa juga menjadi pemicu.
“Kita mengadakan pemilihan umum (pada 1955) ternyata menghasilkan empat partai besar. Tiga dari partai besar itu adalah partai Jawa, dan satu luar Jawa. Dan kegelisahan terjadi di luar Jawa. Dan tidak dibela oleh tiga (partai) yang (ada) di Jawa,” tambah Taufik.
Sementara itu, Fachri Ali kemudian menyebutkan bahwa Sukarno dan Hatta, yang masing-masing mensosialisasikan gagasan Indonesia kepada masyarakat tak terdidik dan terdidik, pada dasarnya memang belum pernah melakukan dialog. Dialog yang dimaksud adalah tentang bagaimana Indonesia harus dibangun, termasuk sistem politik dan sistem kenegaraan.
Pernah ada institusi buatan Jepang yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Jepang adalah negara yang pernah melakukan penyerbuan terhadap banyak negara di kawasan yang kini bernama Indonesia. Akan tetapi, hasil kerja institusi tersebut agak kejepang-jepangan, terutama pada Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amendemen.
“Kemudian orang-orang PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang dibawah Syahrir itu marah karena dianggap ada unsur-unsur fasisme Jepang di dalam konteks itu,” tukas Fachri.
Setelah itu, lanjut Fachri, Hatta membuat Maklumat X yang membenarkan munculnya partai-partai politik. Yang terjadi kemudian adalah sistem parlementer.
“Kalau Anda lihat pada fakta-fakta sejarah ini, sebenarnya… namanya juga revolusi, tidak sempat ada perundingan-perundingan yang mendalam atau konsep tentang bagaimana Indonesia harus dibuat. Semua berlangsung dengan begitu saja dan cepat. Dan tiba-tiba jadilah. Kun fayakun, begitu. Jadilah Indonesia,” kata Fachri.
Anthony Reid menengarai bahwa revolusi memang tak bisa diramalkan jalan dan berhentinya. Baginya, revolusi selalu merugikan. Revolusi merentangkan suatu kekerasan yang panjang dan kompleks.
“Saya kira ini harga yang dibayar dengan jalan revolusi. Tetapi hadiahnya cukup besar. Hadiahnya adalah bahwa suatu identitas baru diciptakan… Ide Indonesia sudah menang. Semua orang sudah berbahasa Indonesia. Itu hadiahnya. Jadi kita harus sadar bahwa ada harganya, tetapi ada hadiahnya,” ucap Anthony.
Sumpah Pemuda
Dialog ini juga turut membahas kapan Identitas Indonesia bermula. Sebagian orang meyakini bahwa peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928 adalah awal dari Indonesia. Akan tetapi, hal itu menjadi paradoks mengingat di masa itu negara-negara yang kini bergabung atau menyerah pada Indonesia masih berdiri dan berdaulat.
Taufik Abdullah lantas menyebutkan bahwa Sumpah Pemuda pada dasarnya tidak memiliki arti apa-apa sebagai fondasi Indonesia. Sumpah yang dilakukan oleh para pemuda itu tak lain hanya dijadikan monumen atau batu pijakan setelah Indonesia ada.
“Jangan lupa, Sumpah Pemuda hanya peristiwa (yang diikuti oleh) paling-paling 300 anak sekolah itu, di Jakarta. Enggak ada arti. (Punya arti) apa? Waktu itu penduduk (di kawasan yang kini disebut) Indonesia sudah kurang lebih 60 juta (jiwa). Enggak usah cerita Ternate, di Jakarta saja banyak yang enggak tahu. Tapi, sejarah tak hanya berkisah tentang masa lalu, tapi juga membuat monumen. Nah, dalam tinjauan ke belakang, ‘haa… iya, ini suatu monumen ini’. Karena ini dianggap sebagai awal dari sesuatu,” kata Taufik.
Sumpah Pemuda dihasilkan dari Kongres Pemuda II yang dilangsungkan di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928. Kongres yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) ini diikuti oleh para pemuda berdasarkan identitas masing-masing. Sebut saja Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Java, Jong Celebes, atau Jong Ambon. Mereka, umumnya, adalah pemuda-pemuda keturunan atau datang dari negeri lain yang sedang menyelesaikan sekolah di Pulau Jawa atau di Jakarta, dan bukan utusan dari negara masing-masing.
“Jadi sebagai kongres, tidak ada arti apa-apa. Anak-anak sekolah (saja itu). Sukarno saja enggak ikut. Sukarno sudah insinyur pada waktu itu,” ujar Taufik.
Anak-anak sekolah yang dimaksud oleh Taufik Abdullah itu pulalah yang membuat bahasa Indonesia sebagai nama lain dari bahasa Melayu.
Identitas
Menurut Taufik, banyaknya ketidakpahaman atas identitas sejarah negeri sendiri dimulai dari sekolah. Durasi mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah dianggap tak cukup untuk memberikan pemahaman atas apa yang sudah terjadi.
“Di SMA (Sekolah Menengah Atas) sejarah hanya diajarkan satu jam. Apa mau diharapkan pemahaman orang tentang masa lalu dan tentang apa arti sekarang? Itu suatu ketololan yang konyol saya anggap!” ujar Taufik.
Pelupaan pada apa yang sudah terjadi lantas membuat kesalahkaprahan dimana-mana. Di antaranya adalah adanya istilah ‘persatuan-kesatuan bangsa’. Istilah itu mengandung pelupaan atas identitas-identitas yang ada di Indonesia.
“Itu disebut dalam satu napas sebagai suatu salah kaprah. Persatuan artinya dalam bahasa Indonesia (adalah) berbagai macam corak, berbagai macam benda, kita kumpulkan menjadi satu. Jadi, bangsa Indonesia ada orang Ternate, ada orang Ambon, ada orang Minang, ada orang Aceh. Itu persatuan. Sedangkan kesatuan, kita lebur semua itu menjadi tidak ada artinya. Jadi, kalau disebut persatuan dan kesatuan bangsa, itu sudah konyol,” urai Taufik.
Fachri juga menambahkan bahwa Indonesia merupakan proyek bersama dari berbagai identitas. Ini terlihat dari keberadaan tentara di daerah-daerah di masa lampau yang tak lain merupakan putera dari daerah itu sendiri. Artinya, masing-masing identitas memiliki kontribusi yang sama dalam penciptaan negara bangsa. Namun, dalam perjalanannya, Indonesia memperoleh masalah karena dikuasai oleh sekelompok orang.
“Kemudian negara dikuasai oleh segelintir orang lalu membuat kebijakan-kebijakan atas nama bangsa. Itu yang mungkin menimbulkan persoalan. Dan saya kira ini yang harus disadari sekali oleh pemimpin dewasa ini,” papar Fachri.
Taufik kemudian menambahkan bahwa identitas Indonesia tak bisa dipaksakan. Ia mencontohkan bahwa Sukarno pernah memaksakan identitas bangsa melalui Demokrasi Terpimpin dan Suharto dengan Orde Baru melalui penataran-penatarannya. Indoktrinasi terjadi. Dan keduanya berakhir tragis sekaligus menciptakan tragedi yang luar biasa bagi Indonesia.
“Negara tidak bisa memaksakan identitas (harus) seperti apa. Kita sudah belajar itu. Yang penting adalah tugas negara mewujudkan apa yang dikatakan oleh pembukaan UUD (Undang-Undang Dasar), antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan Pancasila. Seperti apa? Tidak memaksakan ini harus begini. Identitas itu tidak bisa dipaksakan,” tegas Taufik.
Menurut Taufik, ketika negara sudah mencampuri kehidupan masyarakat, mencampuri kehidupan orang, ketika itulah awal tragedi dimulai.
“Kita sudah belajar dari sejarah itu. Dan jangan coba-coba memulai lagi seperti itu,” tegas Taufik.
repost from: http://www.lenteratimur.com/kun-fayakun-jadilah-indonesia/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar