Senin, 11 Juli 2011

Persoalan Sumpah Pemuda

Gedung lama Museum Sumpah Pemuda. Foto-foto: www.museumsumpahpemuda.go.id.
Jika banyak orang melontarkan kritik sinis kepada komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, maka kritik serupa juga semestinya ditujukan pada bangunan wacana Sumpah Pemuda. Sejarah, termasuk Sumpah Pemuda, memiliki watak yang tak pernah suci. Ia sudah melalui penyaringan-penyaringan sedemikian rupa untuk mengokohkan apa-apa yang dikehendaki oleh sistem yang terproyeksikan.
Komposisi anggota Dewan, sebagaimana kita ketahui, tak pernah betul-betul menjadi sebuah representasi dari masyarakat Indonesia. Mayoritas anggota dewan tersebut sebetulnya berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
“Domisili terbanyaknya di jabodetabek, khususnya Jakarta. Persentasinya aku enggak hapal. Tapi lebih 70 persen. Jadi itu orang-orang jabodetabek yang dicalonkan untuk daerah,” kata Jeirry Sumampow, Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia, Kamis, (28/10), di Jakarta.
Para wakil itu dapat didudukkan di mana saja dan oleh siapa saja berdasarkan keputusan partai politik. Alhasil, seorang Batak, misalnya, dapat mewakili daerah pemilihan di pedalaman Jawa Timur tanpa harus memiliki ikatan batin, atau kesamaan bahasa, dengan penduduk setempat.
Kondisi semacam ini membuat Dewan Perwakilan Rakyat lebih tampak sebagai tempat akal bulus untuk memperoleh kekuasaan dan kenikmatan ekonomi ketimbang sebagai sesuatu yang bersifat perwakilan. Alhasil, ketika suatu daerah mengalami penggusuran semena-mena, misalnya, seringkali tak tampak ada anggota dewan terpilih dari daerah tersebut yang hadir di lokasi. Tak ada pembelaan, tak ada kepedulian. Dan itu semua dikarenakan tak ada bahasa batin yang sama.
Keterwakilan yang bermasalah juga sebetulnya terjadi pada kejadian Sumpah Pemuda pada 1928. Mereka yang melakukan sumpah sejatinya juga orang-orang Jakarta yang melakukan klaim sebagai perwakilan orang daerah. Mereka menyebut diri sebagai Jong Sumateranan Bond, Jong Batak, Jong Java, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Pemuda Kaum Betawi, atau Jong Celebes.
“Sebetulnya mereka adalah orang-orang yang lagi sekolah ke Jakarta. Mereka memang orang daerah. Amir Syarifudin, misalnya, itu kan orang Sumatera. Tapi kemudian memang dia enggak balik lagi. Menetap di Jakarta,” ujar Jeirry.
Undangan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.
Sumpah Pemuda yang lahir dalam Kongres Pemuda II digagas oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) pada 1928. Atas inisiatif Perhimpunan, kongres digelar dalam tiga kali rapat dengan tiga tempat berbeda.
Rapat pertama terjadi pada 27 Oktober 1928. Bertempat di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta), ketua Perhimpunan Sugondo Djojopuspito mengatakan bahwa tujuan diadakannya kongres ini tak lain untuk memperkuat semangat persatuan diantara para pemuda.
Rapat kedua dilangsungkan pada 28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop. Di sini, persoalan yang dibahas adalah mengenai pentingnya anak mendapatkan pendidikan kebangsaan dan demokrasi.
Rapat ketiga, yang juga dilangsungkan di Jakarta, berada di Gedung Indonesische Clubhuis Kramat 106. Di sini dibahas pentingnya gerakan kepanduan sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari pergerakan nasional.
Saat hendak ditutup, Wage Rudolf Supratman memperdengarkan instrumental berjudul “Indonesia Raya” dengan biola. Setelah itu, kongres ditutup dengan mengumumkan tiga butir sumpah.
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia
Dilihat dari komposisinya, para pemuda itu bukanlah utusan dari negeri masing-masing. Dari yang menamakan diri Jong Sumatranen Bond, misalnya, seperti Mohammad Hatta (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat), Sutan Takdir Alisjahbana (lahir di Natal, Sumatera Utara), Muhammad Yamin (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat), Mohammad Amir (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat), Bahder Djohan (lahir di Padang, Sumatera Barat), atau Adenan Kapau Gani (lahir di Agam, Sumatera Barat), semuanya adalah pelajar yang berada dan kemudian hidup di Jakarta. Dari data yang ada, tampaknya hanya Hatta yang sempat berkecimpung secara politis dengan non-Jakarta, yakni Padang.
Jika hendak jujur, sebetulnya mereka tak lebih sebagai warga keturunan yang sedang berada di Jakarta. Mereka sama sekali tak dapat dipandang sebagai utusan dari sebuah sistem sosial kerajaan-kerajaan yang masih berkuasa ketika itu. Tindakan mereka seolah meniadakan adanya penduduk, sistem tata negara, tata masyarakat, sistem nilai, sistem kebudayaan, atau pencapaian-pencapaian kolektif tertentu di daerah masing-masing.
Sementara itu, mereka yang memiliki kesempatan untuk sekolah sebetulnya tak lepas dari strategi Belanda dalam apa yang disebut politik etis. Setelah menaklukkan banyak negeri, selain Aceh dan kawasan-kawasan lain di Sulawesi atau Kalimantan, Belanda kemudian memfasilitasi pemuda-pemuda untuk bersekolah, bahkan hingga ke luar negeri. Mereka yang memperoleh kesempatan ini umumnya berasal dari kalangan aristokrat.
Kemudahan dari Belanda juga terlihat dengan dapat diadakannya kongres di tempat terbuka di bawah kekuasaan Belanda. Tidak ada halangan dari Belanda, meski di Aceh dan berbagai kawasan lain tetap berjuang dan bersimbah darah dalam perlawanan terhadap Belanda. Sementara, para pemuda-pemuda yang bukan aristokrat tetap dalam kondisi marjinal.
Kenapa Belanda memperbolehkan diadakannya kongres? Tentu karena tidak ada persoalan kemerdekaan di sana. Apalagi mereka bukanlah utusan negeri-negeri yang sebetulnya masih bertempur dengan Belanda.
Fakta bahwa mereka yang melakukan sumpah bukanlah utusan semestinya menjadi refleksi tentang bagaimana seharusnya persatuan Indonesia dibangun di seluruh kawasan. Sebab Indonesia bukan hanya Jakarta dan sekitarnya.

repost from: lenteratimur.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar