Senin, 11 Juli 2011

Negara Bagian Ternate

Bendera Kuning merujuk pada Kesultanan Ternate. Bendera Merah Putih merujuk pada Republik Indonesia. Dan bendera hitam merujuk pada identitas persatuan dari empat kerajaan yang ada di Maluku Utara, yakni Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Foto-foto: LenteraTimur.com/TM. Dhani Iqbal.
Istana Kerajaan Ternate tampak lengang pagi itu. Tak tampak ada kehidupan di halaman istana selain tiga buah bendera yang berkibar kencang ditiup angin laut.
Suasana sepi semakin menjadi ketika saya naik ke teras Istana. Di sini, laut terlihat bebas. Jarak Istana ke tepi laut hanya sekitar seratus meter. Dan posisinya terasa berada di tengah ketika mata memandang lurus ke depan, dimana pulau Halmahera tampak memanjang ke kiri, dan pulau Tidore memanjang ke kanan. Tiba-tiba saja saya merasa, angin yang menerpa ini adalah angin yang sama di ratusan tahun yang lampau. Seperti ada sejarah yang terbungkam di Istana ini.
Di ruang depan, sejarah itu seperti bayangan yang berhenti di depan saya. Di setiap sudut, ada cinderamata dan juga upeti dari negeri-negeri jauh dengan tahun yang cukup tua. Sebut saja perisai, baju, tembaga, dan topi dari Portugis pada 1510; tongkat dari kerajaan Sulu, Sabah, dan Mindanao pada 1610; topi perang dari Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen pada 1618; helm dan pedang dari Gubernur Mc Kenzie pada 1715; kelapa kembar dari Raja Sangir pada 1750; kelewang dari Gubernur Van Der Capellen pada 1815; atau cermin dan lampu-lampu dari Raja Willem III Belanda pada 1840.
Hadiah dari Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen dan Gubernur Mc Kenzie kepada Sultan Ternate.
Tepat di sudut dekat pintu penghubung antara ruang ini dengan ruang keluarga, terpampang simbol Kerajaan Ternate: “Gatuba Madopolo”. Gatuba Madopolo berarti burung garuda berkepala dua dengan gambar hati berwarna merah di tengahnya. Simbol burung garuda ini mirip dengan simbol burung garuda-nya Indonesia. Hanya saja, jika di kaki burung garuda Indonesia ada untaian kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”, di kaki garuda-nya Ternate tertulis “Limau Gapai” yang artinya Satu Kota Yang Tertinggi. Simbol garuda ini dibuat sejak jaman Kerajaan Moloku Kie Raha pada tahun 1322.
Suasana sunyi pelan-pelan pupus ketika saya masuk ke pendopo. Di sana, sejumlah anak perempuan sedang bersiap menari. Mereka tertawa dan melompat-lompat gembira. Belakangan saya tahu, pendopo itu memang telah menjadi tempat latihan menari bagi warga sekitar.
Saat saya memperhatikan anak-anak itu, dari sebuah lorong keluar seorang perempuan tua berpakaian daster putih bermotif bunga. Jalannya membungkuk. Wajahnya putih, bersih. Sangat cantik untuk perempuan yang kemudian saya ketahui berusia menjelang 80 tahun. Di sebelahnya ada perempuan yang memegangi tangannya.
Sebenarnya tak ada yang mencolok dari perempuan ini. Tapi entah kenapa, sedari tadi saya menduga, ibu ini pastilah “seseorang”.
Ruang tengah Istana Ternate dan simbol Kerajaan Ternate.
Dan ternyata benar. Ibu ini adalah kakak kandung dari Sultan Mudaffar Syah, Sultan Ternate ke 48 yang berkuasa sejak 1975 sampai sekarang. Namanya Syahrinnisad, atau yang lebih dikenal dengan Ibu Rini. Orang-orang di sekitar saya tak menunggu lama untuk menghampiri Ibu Rini. Semua membungkuk dan menciumi tangannya, termasuk sejumlah abdi dalam, atau maco’o dalam bahasa Ternate, yang sedari tadi duduk-duduk di sekitar pendopo.
“Orang Ternate itu pertama kali dipengaruhi oleh China,” demikian ucap Bu Rini saat saya mulai bertanya-tanya tentang sejarah Ternate. “Bahkan arsitek Istana Sultan Ternate ini adalah orang China. Tapi namanya saya lupa. Hong atau Cong.”
Kemudian tangannya menunjuk lurus ke depan, ke arah belakang Istana.
“Waktu saya masih kecil, saya sering bermain di rawa-rawa. Di sana ada kuburan orang China.”
Ibu Syahrinnisad, atau yang biasa disapa Ibu Rini.
Bu Rini diam sejenak. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat melihat pekarangan belakangan istananya itu, sesuatu yang tentu sudah dilihatnya berpuluh-puluh tahun.
“Dan 250 tahun sebelum Nabi Isa lahir, sudah ada perjanjian dagang antara Halmahera Utara dengan Melanesia. Apalagi jika dilihat dari bahasanya, bahasa Ternate ada hubungannya dengan filumpapua,” tutur Bu Rini penuh semangat, seakan sejarah ribuan tahun itu baru terjadi kemarin.
Ternate memang mendapat pengaruh dari banyak bangsa. Tidak hanya China, tetapi juga dari mana-mana, termasuk Melayu. Bahkan, di daerah selatan, dekat pasar, ada sebuah benteng yang bernama Benteng Melayu. Menurut Ibu Rini, benteng ini didirikan oleh orang-orang Melayu yang datang untuk berdagang cengkeh. Tapi pada 1605, Belanda masuk dan merebut benteng tersebut sekaligus merenovasinya. Namanya pun kemudian diganti menjadi Benteng Force Orange.
Pintu Masuk Benteng Force Orange, atau Benteng Melayu.
Hingga saat ini, benteng tersebut masih tegak berdiri. Meski jumlahnya tidak lagi utuh, meriam-meriamnya masih banyak bertebaran di setiap sudut. Rata-rata menghadap ke laut. Agaknya benteng ini dijadikan penghadang bagi kapal-kapal musuh yang hendak memasuki Ternate. Dulu, posisi benteng ini memang berbatasan langsung dengan laut lepas. Hanya saja, kini di depan benteng terdapat perumahan dan jalanan hasil reklamasi.
Benteng Melayu atau Benteng Force Orange bukanlah satu-satunya benteng di Ternate. Di pulau kecil ini, masih banyak benteng lain yang bertebaran. Menarik memang, karena sepertinya Portugis atau Belanda membutuhkan banyak sekali benteng untuk menaklukkan kerajaan yang secara geografis berada di pulau yang sangat kecil. Sebagai perbandingan, hanya dibutuhkan waktu sekitar 40 menit dengan perjalanan mobil untuk mengeliling seluruh pulau ini.
Di tempat yang tak begitu jauh, ada sebuah benteng yang bernama Benteng Santa Lucia atau Benteng Tolukko. Benteng ini dibuat oleh Fransisco Serrao, orang Portugis, pada 1512. Dari atas benteng ini, Pulau Halmahera terlihat memanjang dari tengah ke kiri dan Pulau Tidore memanjang dari tengah ke kanan. Benteng ini dibuat dengan ketinggian mencapai 620 sentimeter dari atas lembah dan 11 meter di atas permukaan laut. Namun pada 1692, Sutan Ternate bernama Tolukko merebut benteng ini dan mengganti namanya dengan nama dirinya.
Di atas Benteng Tolokku.
Selain itu, ada juga benteng-benteng lain yang dibuat oleh Portugis, seperti Benteng Nostra Senota Del Rosario pada 1512 dan Benteng Santo Pedro pada 1522. Selain itu, Belanda juga turut membuat benteng, misalnya Benteng Kalamata pada 1629.
“Yang terkenal sesudah Portugis adalah Benteng Kastela,” kata Bu Rini kemudian. “Sesudah Portugis diusir, Sultan Baabullah tinggal di Kastela.”
Kastela sendiri berasal dari kata castile atau kastil. Meski sangat bersejarah, Benteng Kastela saat ini sangat tidak terawat. Temboknya bolong di sana sini. Catnya tidak beraturan. Bahkan sudah ada mesjid yang posisinya menjorok ke dalam kawasan benteng.
Di atas gerbang masuk benteng, simbol garuda berkepala dua kembali muncul. Dan di bawah patung burung itu, ada tulisan “Jou Se Ngofa Ngare”. Ini sebuah idiom yang tidak bisa dimengerti secara harfiah. Meski demikian, kira-kira artinya adalah Sultan dan Rakyat Menyatu. Banyak penduduk sekitar benteng yang mengidentikkannya dengan konsep kemenyatuan Tuhan dengan manusia.
Di benteng inilah Sultan Ternate ke 25, Khairun, dibunuh oleh Portugis pada 28 Februari 1570. Dan sejak itu pula, anaknya Khairun, Sultan Ternate ke 26, Baabullah, mengobarkan amarah yang luar biasa terhadap Portugis.
Sejak hari kematian Khairun, Baabullah terus menyerang Portugis selama bertahun-tahun, termasuk mengisolasi benteng ini. Upayanya membuahkan hasil. Pada 28 Desember 1575, Portugis akhirnya menyerah. Setiap tanggal bersejarah ini terukir di masing-masing sisi dari sebuah tugu yang terdapat di dalam kawasan benteng Kastela.
Menghadap Pulau Halmahera dari teras istana.
Namun demikian, jika kerajaan-kerajaan lain di nusantara berhenti perang setelah musuh keluar dari wilayah teritorinya, tidak demikian halnya dengan Sultan Baabullah. Portugis yang sudah berhasil diusir, masih terus diburunya hingga ke Timor Leste dan Mindanao, Pilipina.
Bu Rini mengakui, Baabullah memang sangat terpukul dengan ulah Portugis yang membunuh ayahnya.
“Dan saat mengejar Portugis”, kata Bu Rini, “Baabullah meluaskan daerahnya sampai ke selatan, seperti Selangor; ke utara seperti Brunei, Sambas, kota batu Pilipina; ke barat seperti Makassar.”
Tidak hanya itu, Raja Goa bahkan melakukan kontrak perdamaian dengan Sultan Baabullah.
“Baabullah menguasai laut di (tempat yang kini di kenal sebagai) Indonesia Timur.”
Seiring bergulirnya waktu, muncul ide untuk mendirikan sebuah negara dikalangan pemimpin di kawasan nusantara yang tengah berperang melawan Belanda. Termasuk Ternate. Jakarta, dulu bernama Batavia, adalah kota dimana para pemimpin di berbagai wilayah bertemu dalam kepentingan sekolah.
“Dalam perjuangan Sukarno melawan penjajah, mereka ikut terlibat,” ucap Bu Rini. “Seperti bapak saya, yang waktu itu memilih bergabung dengan Agus Salim karena kesamaan ideologis, yaitu Islam. Begitu juga dengan Hatta, yang sudah dikenalnya sejak bekerja di Bandung.”
Namun demikian, kesepakatan membangun negara baru bukannya tanpa komitmen. Meski hendak meleburkan diri, Ternate tidak mau kehilangan identitasnya.
“Ayah saya mengharapkan (adanya persatuan dalam) republik,” tegas Bu Rini. “Tapi sistemnya federal. Masing-masing urus dirinya sendiri. Kecuali tentara yang harus bersatu. Sebenarnya Sukarno sendiri mau federal. Tapi karena Van Mook (duluan) bikin federasi, Sukarno akhirnya tidak mau.”
Istana Ternate.
Seperti halnya Sukarno, Mohammad Hatta pun memahami kehendak dari Ternate ini. Bu Rini ingat ketika ayahnya berdiskusi dengan Sukarno dan Hatta.
“Mereka bicara dalam bahasa Belanda. Ayah saya ditanya Sukarno, jadi Pak Sultan mau bergabung dengan republik? Ayah saya bilang, maaf saja, saya mau republik, tapi sistemnya federal. Tapi Hatta bilang, jangan dulu federal. Nanti saja belakangan.”
Menurut Bu Rini, konsep negara kesatuan bagi Hatta merupakan siasat. Setidaknya bersifat sementara. Negara yang baru berdiri akan sulit bertahan jika langsung menerapkan federasi.
“Lalu ayah saya bilang, oke,” kata Bu Rini.
Wajahnya tetap tenang saat mengucapkan ini. Hanya intonasinya saja yang terasa ada penekanan. Apalagi Hatta memang dikenal tegas dalam mendorong terbentuknya otonomi daerah – yang kelak gagal dan membuat Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada tanggal 1 Desember 1956.
Sempat memang, ide federalisme kembali mengemuka beberapa tahun yang lalu. Namun, entah kenapa, ide ini dianggap asing dan mendapat penolakan keras hingga menguap begitu saja. Konsep negara kesatuan dianggap sudah final. Banyak elit partai jaman ini yang terlanjur memandang federalisme sebagai bentuk pengkhianatan terhadap ide pendirian Negara Republik Indonesia.
Kota Ternate kini.
Tak lama Bu Rini pamit untuk beristirahat. Perempuan yang tadi berjalan bersamanya kembali memegangi tangan Bu Rini dan menuntunnya berjalan menuju kamar. Saya melihat punggung Bu Rini yang berjalan terbungkuk hingga lenyap di balik lorong yang menikung.
Saya kembali ke teras depan istana. Halmahera masih di kiri dan Tidore masih di kanan. Suasana sunyi kembali menyergap.

repost from : lenteratimur.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar